Ini
kebiasaan teman-temanku setiap jam istirahat ketiga pada hari Kamis.
Kami, siswa-siswi SMA, pulang sekolah pukul 13.30 setiap harinya;
sementara
siswa-siswi SMP sudah mengakhiri pelajaran pada pukul 11.45, bertepatan
dengan jam istirahat ketiga kami. Setiap saat itulah, teman-temanku
berdiri bersandar di balkon dan menonton siswa-siswi SMP sekolah kami
yang sedang berjalan pulang sekolah. Seringkali mereka mengomentari
siswi-siswi mana yang imut atau cantik, dan terutama yang menurut mereka
memiliki tubuh yang seksi. Beberapa temanku bahkan sering bersiul pada
mereka, atau menggoda mereka, hanya untuk menarik perhatian salah satu
dari cewek-cewek SMP yang cantik-cantik itu. Hari ini pun begitu,
sementara aku duduk di bangku panjang sambil mendengarkan iPod ku. “Dit!
Dit! Vany tuh!” Nah, di antara semua cewek SMP yang lain, ada satu
cewek yang paling menarik perhatian hampir semua temanku (dan sepertinya
hampir semua cowok di SMA dan SMP, dan mungkin bahkan beberapa bapak
guru). Cewek itu adalah Stevany, adik perempuanku. Stevany 4 tahun lebih
muda dariku, dia duduk di kelas 2 SMP. Sebenarnya Vany sama seperti
cewek-cewek yang lain; dengan tinggi badan 153 cm dan berat 46 kg, Vany
tergolong kecil mungil, tidak tinggi semampai. Rambutnya yang hitam pun
hanya dipotong pendek sebatas leher. Memang wajahnya sangat imut dan
kulitnya pun putih mulus tanpa cacat, tapi bukan itu yang membuat
teman-temanku tergila-gila padanya. “Duh gilak tuh anak cute banget
sih!!” “Sexy banget, maksud lu..!?” Yap… Kontras dengan wajahnya yang
sangat imut seperti anak kecil, Vany bisa dibilang sangat sexy. Alasan
utamanya—dan aku yakin bagian inilah yang selalu dilihat oleh hampir
semua cowok—Vany memiliki dada berukuran 34 C, yang termasuk sangat
besar untuk anak seusianya. Bentuknya pun sangat bulat dan penuh. “Duh
gue ngaceng… Gede banget gilak…” “Hus! Ada kakaknya tuh.. Ntar lu
dibunuh… Hahaha” Tiba-tiba teman-temanku ber “Oooh…!!” seru. Aku
melongok ke arah lantai dasar, mencari tahu penyebab “Ooh..!!” tiba-tiba
itu. Pantas, pikirku. Vany sedang berlari berkejar-kejaran dengan
beberapa cewek lain. Aku tahu apa yang diperhatikan oleh teman-temanku:
dada Vany yang berguncang-guncang menggiurkan saat ia berlari. Aku
melirik ke arah teman-temanku, dan aku dapat melihat tonjolan-tonjolan
tegang di bagian tengah celana panjang mereka. “Heh! Udah! Adek gue
bukan tontonan!” ujarku. Teman-temanku menoleh. “Yee… Salahnya adek lu
punya badan kayak gitu..” kata Martin, salah satu temanku. “Toket kayak
gitu, lebih tepatnya,” kata yang lain. “Ah, udalah! Nyebelin…” kataku
gusar. Aku berdiri dan berjalan pergi, meninggalkan teman-temanku yang
menatapku gelisah. Sebenarnya hal ini sudah membuatku gelisah beberapa
waktu belakangan ini. Sejak adikku kelas 6 SD, entah kenapa seolah-olah
dadanya seperti dipompa; pertumbuhannya pesat sekali! Hampir setiap
pergantian semester, adikku ini mengeluh bra-nya sudah kesempitan, dan
ternyata ukurannya sudah bertambah besar lagi. Di saat teman-teman
seusianya masih belum mengenakan bra, Vany sudah mulai memilih bra mana
yang harus dikenakannya, dan saat teman-temannya mulai merasakan
pertumbuhan di dada mereka, milik Vany bahkan sudah jauh lebih besar
dari milik ibuku. Dan, yang paling membuatku khawatir, adalah kenyataan
bahwa bagaimana pun, aku juga seorang cowok normal, yang juga bisa
terangsang bila melihat sepasang dada yang bulat dan sangat besar
seperti miliknya. Bahkan sudah beberapa lama ini aku menahan godaan
untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan oleh
seorang kakak pada adiknya. “Yang ini aja…” “Nggak ah, Kak… Bagusan yang
ini tau…” “Hmm… Masa sih?” Sore itu aku dan Vany sedang berada di dalam
sebuah toko yang menjual berbagai kartu ucapan di sebuah mall di dekat
rumah kami. Kami sedang memilih kartu ucapan untuk salah seorang teman
Vany yang akan berulang tahun sebentar lagi. Sudah sekitar setengah jam
kami berputar-putar di antara rak-rak yang memamerkan berbagai macam
kartu ucapan yang unik dan lucu, tapi kami masih belum menemukan pilihan
yang tepat. Vany menarik sebuah kartu bergambar anjing kartun lucu yang
sedang mendengarkan iPod dari raknya. “Kalo yang ini?” tanyanya
kepadaku. “Hmm… Boleh juga, sih…” jawabku. “Bisa diputer-puter, ya?”
“Ya… Lucuu…” Aku tersenyum, menunduk, mencium ubun-ubun kepalanya. Vany
mendongak, menatapku sambil tersenyum. Ia menyenderkan kepalanya ke
pundakku. “Luv u, Kak…” “Luv u too, Van…” Sambil tetap meletakkan
kepalanya di pundakku, ia kembali melihat-lihat kartu bergambar anjing
yang ia ambil tadi. Seolah ia telah menentukan pilihannya. “Yang ini aja
ya, Kak?” “Ya… Itu bagus,” jawabku. Vany nyengir manis sekali, kemudian
menggandeng tanganku ke arah kasir. Setelah membayar, kami keluar dari
toko kartu itu, masih bergandengan tangan. Kami benar-benar menikmati
jalan-jalan kami petang hari itu; kami berjalan perlahan-lahan, sesekali
aku memainkan rambutnya yang pendek-kaku, kemudian menciumnya lembut.
Vany membalas dengan tusukan nakal jari telunjuknya di pinggangku,
bermaksud menggelitikku. Kami saling berbagi candaan dan menggoda satu
sama lain, berfoto berdua, pokoknya benar-benar menyenangkan. Yap.
Seperti itu lah aku dan Vany, adik perempuanku satu-satunya, sekarang.
Mesra sekali. Sejak kejadian malam itu (saat Belanda akhirnya melibas
pasukan tua Italia 3-0—silakan baca episode 1) kami menjadi sangat
dekat. Kami memang sudah memiliki hubungan yang baik sebelumnya—kami
hampir tidak pernah bertengkar—dan kejadian itu sungguh-sungguh
merekatkan kami, layaknya sepasang kekasih. Sejak kejadian malam itu,
kami saling berjanji untuk tidak mengulangi kegilaan seperti itu lagi…
Dan kami berhasil! Kami menonton pertandingan-pertandingan Euro
selanjutnya dengan seru, dan saling menghormati satu sama lain,
menyadari status kami sebagai kakak-adik. Tapi, aku tidak bisa
memungkiri bahwa sejak malam itu, Vany selalu ada dalam pikiranku. Dan
setiap malam, sebelum tidur, bayangannya lah yang muncul di benakku. Aku
tahu aku harus menolak pikiran-pikiran itu, tapi hasilnya malah pikiran
itu muncul semakin menggila setiap kali aku onani. Setiap kali aku
melakukannya, selalu muncul gambar-gambar kejadian malam itu; bagaimana
aku meremas dadanya yang empuk dan besar, bagaimana putingnya mengeras,
bagaimana pahanya yang mulus menjepit dan menggesek penisku, erangan dan
desahan nikmatnya, dan tubuhnya yang tergeletak lemas berlumuran
spermaku tak pernah bisa kuhapus dari pikiranku. Bayangan itu sungguh
efektif dalam merangsangku, begitu efektifnya hingga tak cukup hanya
satu kali keluar saat onani untuk memuaskan nafsuku. Aku tak tahu apa
yang Vany alami setelah malam itu; apakah dia juga mengalami apa yang
aku alami atau tidak, aku tak tahu. Yang aku tahu, ia semakin sayang
pada kakaknya, dan—jujur saja—ia terlihat semakin sexy sejak malam itu.
Seolah dadanya yang besar bertambah besar dan menonjol menggiurkan,
tetapi wajahnya yang imut bertambah imut dan polos. Ooh… Paradoks
seperti itu sungguh menggairahkan! * * * Selasa, 17 Juni 2008 – 22.10
“Kaak… Ntar bangunin aku ya kalo udah mulai…” “Kamu pasang weker juga
lah, Van…” “Udaah… Tapi takutnya ga bangun… Ya?” Vany sedang menjulurkan
badannya dari balik pintu tembusan antara kamarku dan kamarnya (kamar
kami dihubungkan dengan kamar mandi), dan memintaku membangunkannya saat
pertandingan Italia vs Prancis berlangsung nanti. Pertandingan ini
merupakan pertandingan penentuan, dengan Belanda yang telah lolos dari
grup maut C, posisi kedua diperebutkan Romania, Italia, dan Prancis.
Pemenang laga Italia melawan Prancis akan lolos apabila Belanda berhasil
mengalahkan Romania pada laga terakhir. Jika Romania menang, maka
Romania-lah yang lolos mendampingi Belanda, tak peduli hasil
pertandingan Italia melawan Prancis. “Oke…” Aku mengangguk, setuju. Aku
masih tetap menghadapi komputerku. Vany berjalan ke arahku, memelukku
dari belakang, mengecup pipiku. “Thanks, Kak…” bisiknya lembut. Aku
tersenyum, menoleh menatapnya, dan mencium hidungnya yang mungil. Vany
mengernyit, tapi nyengir setelahnya. Ia mencium pipiku lagi kemudian
berbalik ke arah kamarnya. Aku mendengar debam pintu ditutup di
belakangku. Cepat-cepat aku mengganti screen komputerku. Aku sedang
mengetik cerita tentang kejadian beberapa malam yang lalu itu. Aku sudah
berjanji pada teman-temanku di Bluefame untuk membagikan cerita ini
pada mereka. Setengah jam berlalu, aku masuk bagian ketiga, bagian yang
paling seru. Sambil mengetik, aku membayangkan apa yang kulakukan malam
itu dengannya. Kupejamkan mataku… Sama seperti sebelumnya,
bayangan-bayangan itu muncul dalam benakku. Jelas sekali… Aku
membayangkan tanganku sedang meremas dadanya yang empuk dan sangat
besar, memainkan putingnya yang semakin lama semakin mengeras dan
menegang menggiurkan. Aku menyenderkan badanku ke kursi, merogohkan
tangan ke dalam celanaku. Penisku sudah mengeras. Pelan-pelan, aku
mengocoknya. Oohh Vany toket kamu gede bangeeet siih… Penisku semakin
tegang dan membesar, kocokanku semakin keras. Empuuk… Putingnya keras
bangett… Hornya,ya Van? Tanganku bergerak semakin cepat.
Bayangan-bayangan semakin jelas. Oh my God paha kamu ngegesek penis
kakak… Nafasku semakin cepat. “Aah…” Astaga, aku bahkan dapat mendengar
suara desahannya dalam benakku. “Mmmh… Mmm…” Oh suaranya jelas sekali…
“Mmhh… Ssshhh… Aah…” Astagaa… Aku akan segera keluaar!!! Tapi saat itu
aku sadar… Bayangan tidak bersuara! Aku membuka mataku, diam terpaku,
mendengarkan… “Mmmhh…” Samar-samar, dari kamar sebelah, aku bisa
mendengar suara desahan tertahan. Vany kah? Apa yang sedang
dilakukannya? Mengendap-endap, aku berjingkat ke arah pintu kamar
mandiku, yang menghubungkan kamarku dengan kamarnya. Perlahan, sangat
perlahan, aku membuka pintu kamar mandiku, berusaha tidak mengeluarkan
suara sedikit pun. “Aahh… Mmmhhh…” Desahannya semakin terdengar. Aku
menjulurkan kepalaku ke dalam… benar saja; pintu kamar mandi yang menuju
ke kamarnya terbuka sedikit. Mungkin Vany lupa menguncinya malam ini.
Aku berjingkat perlahan ke arah pintu yang terbuka sedikit itu, dan dari
celah pintu itu aku mengintip ke dalam kamar adikku. Lampu kamarnya
telah dimatikan, hanya tersisa lampu meja yang menyala oranye redup.
Vany meringkuk di atas ranjangnya, tubuhnya yang mungil miring ke kanan,
menggeliat-geliat pelan. Tangan kanannya merogoh bagian depan celana
pendeknya, menjangkau vagina dengan tangannya, sementara tangan kirinya
meremas salah satu dadanya yang besar menggiurkan itu. Vany sedang
masturbasi! “Aahhh… Aaahhh….” desahnya nikmat. Aku terpana. Tidak pernah
sebelumnya aku berpikir bahwa adikku yang polos dan imut-imut ini juga
memiliki pikiran yang erotis hingga bisa masturbasi. Terdiam sejenak,
aku sadar bahwa akulah yang memasukkan pikiran-pikiran seperti itu dalam
benaknya. Jika kejadian malam itu tak bisa hilang diingatanku—yang
telah sering ML apalagi hanya petting seperti itu—tentunya lebih tidak
bisa hilang lagi dalam pikiran Vany yang masih polos dan baru pertama
kali melakukannya. Tersenyum, aku membalikkan badanku, bermaksud
meninggalkan Vany dalam fantasinya. Tapi, baru setengah langkahku
terangkat, aku mendengar sesuatu yang membuatku tertegun. “Mmmhh… Kak…
Kaak…” Jantungku serasa berhenti. Astaga! Rupanya aku yang
dibayangkannya! Penasaran, aku berbalik, hendak mengintip ke arah
kamarnya lagi, melihat apa yang terjadi. Namun, karena gelap, aku
menyenggol tempat sampah kamar mandi yang terbuat dari besi, sehingga
jatuh berkelontangan. Tanpa melihat pun, aku tahu Vany tertegun di
ranjangnya. Hening mencekikku. Aku dilanda kebingungan, berbalik ke
kamarku sepelan mungkin, atau membereskan dulu tong sampah itu baru
berbalik. Sebelum aku mengambil keputusan, tiba-tiba pintu kamar mandi
terbuka, lampu menyala. Vany berdiri di ambang pintu. Tubuhnya
berkeringat, wajahnya yang imut diliputi kecemasan dan terkejut. “Eh…
Kak? Nga… Ngapain?” Vany bertanya gugup. “Hah? Oh? Nggak koq nggak
ngapa-ngapain… Eh… Belum tidur?” aku tak kalah gugupnya. Terdiam. Kami
membatu di tempat masing-masing, menyadari kejanggalan yang terjadi.
Vany memberanikan diri bertanya. “Kakak… Tadi liat aku?” “Ah? Ah…” Aku
gelagapan, tak tahu harus menjawab apa. “Eh, ya… Lebih ke arah denger
sih…” Terdiam lagi. “Tadi pintunya agak kebuka sedikit…” lanjutku sambil
mengangguk ke arah pintu yang menuju kamarnya. “Oh, ya…” Terdiam lagi.
Suasana ini tidak menyenangkan. Wajah Vany merah padam. “Mm… Kakak…
Denger semua?” suara Vany sangat pelan hampir berbisik. Aku terdiam, tak
mampu menjawab. “Yah… Ya… Kamu bayangin… Kakak?” tanyaku. Langsung ke
sasaran. “Hah? Eh…” wajahnya tambah merah padam. “Yah… I… Ya gitu deh…”
“Oh ya?” jawabku canggung. Tak tahu melanjutkan ke mana. “…Yang malem
itu…” bisik Vany. Aku terdiam. Sudah kuduga ia akan memikirkan apa yang
kami buat malam itu. Perasaan bersalah terasa menyakitkan menusuk
hatiku. Kami terdiam, terpaku di tempat masing-masing, bingung harus
melakukan apa selanjutnya. “Eh… Yah… Yasudah… Kakak tidur dulu?” kataku
gugup. “Hah? Oh… Ya… Oke… Nanti bangunin aku ya…” kata Vany, senyum
gugup mengembang di bibirnya yang mungil. Vany membantuku membereskan
sampah yang sedikit berserakan. Aku tersenyum, mengecup keningnya,
kemudian berbalik, hendak kembali ke kamarku, berusaha melupakan apa
yang kulihat barusan. Saat itulah Vany memelukku dari belakang. “Kak…”
bisiknya. “Ya?” jawabku, berusaha setenang mungkin. “Kakak… Juga mikirin
yang malem itu?” Vany bertanya takut-takut. Hening. “Kak?” “Ya… Iya…”
Hening lagi. “Yang pas apa yang kakak bayangin?” “Heh? Koq nanya kayak
gitu?” Aku mendengarnya tertawa kecil. Vany semakin mempererat
pelukannya. Dadanya yang empuk menekan punggungku, enak sekali… Aku
merasa celana pendekku mulai menyempit. “Kamu bener-bener kepikiran,
ya?” tanyaku. Aku merasakan anggukan kecil kepalanya. “Pengen… Lagi…”
katanya pelan. “Heh! Katanya waktu itu jangan lagi… Dosa…” jawabku. Aku
agak geli. “Iya… Tapi…” Aku tersenyum, membalikkan badanku. Vany
menunduk, terlihat lesu. “Hei…” sapaku lembut. Kuangkat dagunya
perlahan. “Ga baek tau kita gitu… Kan kakak-adek… Waktu itu udah janji
juga kan kita ga mau gitu lagi… Ya kan?” Apa yang kukatakan ini sungguh
bertentangan 180 derajat dengan apa yang kurasakan. Penisku yang
menegang serasa berdenyut-denyut di balik celana pendekku. Ingin rasanya
aku langsung melumat bibirnya yang mungil itu dan menghujamkan penisku
ke dalam tubuhnya. Tapi, bagaimana pun, aku kakaknya. Aku tahu itu tidak
boleh. “Iya… Iya sih…” jawabnya, lembut. “Sorry…” “Hm? Koq sory?”
“Abis… Kan udah janji waktu itu…” Tidak boleh, dia adikku. Aku terus
memberitahu diriku sendiri. Tapi saat itu aku mataku terantuk pada
dadanya yang besar menantang. Penisku semakin mengeras. Aku
menggelengkan kepala. “Kakak nggak pengen lagi?” tanyanya, polos. Nggak.
“Yah…” Bilang nggak pengen. “Eh…” Stop. “Ya… Yah… Jujur sih… Eh…” Dia
adik lu! “… Ya pengen sih…” Bagaimana pun aku kalah lagi. Vany
mendongak, menatapku. Saat itu wajahnya terlihat imut sekali. “Karena
toketku?” tanya Vany. “… Iya… Sory…” jawabku lemah. “Gapapa…” jawabnya.
Mukanya merah padam. “Abis… Gede banget…” “Segede itu kah?” tanyanya
perlahan, kedua tangan mungilnya memegang dadanya, meremasnya, seolah
tak percaya bahwa dadanya memang sangat besar. Aku tak tahan lagi.
Kupeluk tubuh mungil Vany. Dadanya yang besar menekan dadaku. Aku
mencium bibirnya yang mungil, lembut. Vany terkejut. Sesaat seolah ia
akan meronta melepaskan diri dari pelukanku, namun detik berikutnya ia
telah membalas ciumanku. Ciuman kami bertambah panas. Lidahku perlahan
masuk ke dalam mulutnya, memainkan lidahnya. Vany cepat belajar rupanya,
segera membelit lidahku dengan lidahnya yang mungil. Decak lidah kami
terdengar menggiurkan di dalam heningnya malam itu. Tanganku merogoh
pantatnya, meremasnya. Baru kali ini aku menyadari pantat Vany juga
montok dan tebal. Vany melepaskan ciuman, mengambil nafas. Benang ludah
tipis menghubungkan mulut kami. Sexy sekali. “Di kamar aja yuk?”
ajaknya. Aku mengangguk. Kugendong Vany kembali ke kamarnya, kurebahkan
tubuh mungilnya di atas ranjangnya. Perlahan, aku merebahkan diri di
atas tubuh Vany, kembali melumat mulutnya dengan penuh gairah. Tapi saat
itu Vany terbatuk. “Kenapa?” tanyaku. “Uhuek… Kakak berat!” katanya
terbatuk. Ia tertawa terbahak-bahak. Tawanya yang renyah justru menambah
gairahku. Kami berciuman lagi. Nafas kami semakin memburu. Aku
menurunkan ciumanku ke rahangnya, kemudian lehernya, perlahan-lahan.
Vany mencengkeram rambutku. “Mmhhh… Jilatin leherku, Kak…” Aku
menurutinya. Aku memutar-mutar lidahku di lehernya, kucium perlahan,
terus berulang-ulang. Vany mengejang. “Enak?” tanyaku. “Hmmhh… Iya… Lagi
kak…” Vany mendesah. Kali ini, sambil menjilat dan merangsang lehernya
terus-menerus, tanganku perlahan meremas dadanya yang seempuk bantal.
Rupanya malam ini Vany memakai BH, sehingga tanganku tidak langsung
menyentuh putingnya. Tapi aku merasakan puting Vany telah mengeras
seperti malam itu. “Buka aja kaosnya…” pintanya. Aku mengangguk.
Perlahan, aku mengangkat kaos piyama warna pink itu. Vany mengangkat
kedua lengannya agar bisa kubuka sepenuhnya. Aku tertegun melihat BH
warna putih berenda yang dikenakannya. Baru kali ini aku melihat tubuh
adikku seperti ini. Dadanya yang besar dan bulat terlihat sangat
kesulitan ditahan oleh BH itu. Aku mulai mencium dan menjilat dada Vany,
sementara tanganku masih tak puas merasakan empuk dan kencangnya.
“Emang bener-bener gede, Van…” bisikku. Vany hanya tersenyum, menggeliat
nikmat. Aku meremas dadanya lagi, ragu-ragu apakah sebaiknya kubuka
Bhnya atau tidak. Seolah dapat membaca pikiranku, Vany bertanya. “Mau
liat?” tanyanya, menggoda. Tak menunggu disuruh dua kali, kutarik BH itu
ke atas. Dada Vany yang besar berguncang menggiurkan saat terbebas dari
cengkeraman BHnya. Sungguh besar, bulat dan putih mulus sekali, dengan
puting yang masih belum pernah tersentuh tangan pria berwarna coklat
muda kemerahan. Benar dugaanku, putingnya telah ereksi
setegang-tegangnya. Dada Vany benar-benar sempurna. “Oh my God…” bisikku
kagum. “The best…” “Hehehe… Berisik… Ayo cepet…” katanya. Aku
membenamkan wajahku di antara kedua payudaranya. Empuk, lembut sekali.
Sensasi kenyalnya dada Vany membuatku sungguh terangsang. Dada Vany
sungguh penuh membungkus wajahku. Aku bergeser. Jemariku memainkan
putingnya yang telah tegak berdiri. “Aaahh… Kakk… MMhhh…” Vany mendesah
nikmat. Kujilat dan kusedot puting kanannya, sementara tangan kananku
meremas dada kirinya. Kemudian berganti, puting kirinya kusedot dan
kujilat perlahan, sementara puting kanannya kumainkan dengan jemariku;
kucubit dan kuputar. “Aaahh… Aaahh… Ka…K… Pelan… Pelaan… Mmmhhh!!” Aku
menyadari Vany lebih terangsang saat puting kirinya kujilat. Rupanya
Vany lebih sensitif di puting kiri. “Kamu lebih suka di sini ya?” godaku
sambil menggigit perlahan puting kirinya. “AAAHH… Aah!! IYA! Ooh…
Mmmhhh… Jangan digigiitt… Mm!!” Vany mendesah keenakan. Tubuhnya
menggeliat-geliat. Tangannya mencengkeram seprei. Sambil melepas celana
pendeknya, aku semakin liar memainkan dadanya yang besar menggiurkan.
Kuputar-putar lidahku di kedua putingnya bergantian. Vany tak tahan.
“OOH… Kaakk… Ka… Kalo gitu terus… Aku… Aaahh… Mmhh… Kk…” “Mau keluar?”
tanyaku sambil terus meremas dan menjilat dadanya. Vany mengangguk
panik. Aku nyengir nakal. Puting kirinya kujilat sangat perlahan,
sementara tangan kananku merogoh selangkangannya. Sudah basah kuyup.
“AaaahhhHH….!!! Kaaakkkk!!!” Sslllrrssshhhhhhh… Vany mengejang,
mengangkat pinggulnya, menyemprotkan cairannya banyak-banyak, membasahi
tanganku. Ia terkulai lemas. “Kenapa kamu? Belon diapa-apain udah
squirting gitu?” godaku. “Hhh… Hh… Enak aja blon diapa… apain… Hh…”
jawabnya, terengah-engah. Aku tertawa pelan. “Masih kuat?” Ia
mengangguk, tersenyum. “Kakak nakal…” bisiknya. Aku nyengir dan kembali
membenamkan kepalaku kedalam bekapan dadanya. Benar-benar enak sekali.
“Mmm… Vnn… Nnii subber bngeddd…(Mmm… Van ini super banget)” kataku dalam
bekapan dadanya. Vany tertawa geli. Kedua tangannya meremas dadanya,
menekankannya ke arah wajahku, sehingga semakin membekap wajahku. Saat
itu ide gila melintas di benakku. “Van, kamu tau titf*ck?” tanyaku. “Apa
tuh?” “Itu… Gini…” Aku berdiri, membuka celanaku. Penisku yang tegak
berdiri mengacung ke arahnya. Vany melotot memandang penisku. “Mau
diapain, Kak?” tanya Vany. “Kayak tadi…” Dengan lembut aku berlutut,
mengangkang melewati perutnya. Kuletakkan penisku di antara dadanya yang
lembut itu. Vany mengerti. “Ooohh… Iya iya!” katanya,
mengangguk-angguk. Vany memegang kedua dadanya yang besar, kemudian
menjepit penisku di antaranya. Luar biasa! “Aaahh!!! Vaan… Ini enak
banget!!” “Enak??” tanyanya. Tangan Vany meremas-remas, memijat-mijat
dadanya. Sensasi empuk dan kencang membungkus penisku. Dadanya sungguh
besar hingga yang terlihat hanya kepala penisku yang berwarna merah.
Rasanya berdenyut-denyut di antara jepitan lembut dadanya. “Van, dikocok
deh… Mmmhhh… Pelan-pelan,” pintaku. “Oke…” Vany menggerakkan dadanya
naik turun bersama-sama, perlahan. Aku tak dapat melukiskan
kenikmatannya dengan kata-kata. Kemudian ia menggerakkan dadanya
bergantian, kiri-kanan-kiri-kanan… Benar-benar luar biasa! “Ooohh…
Mmmmhhh… Vaann… Sambil dijilat… Kepalanya…” Vany menunduk, menjilat
kepala penisku. Aku rasa batasku sudah semakin dekat. Seolah mengerti
pikiranku, Vany berkata. “Keluarin aja, Kak… Semprot yang banyak!”
bisiknya. “Okee… Mmmhh… Ben… Bentar laggii… Aaahhh….” Vany semakin cepat
menggerakkan dadanya naik-turun, ia juga mengencangkan jepitannya, tapi
jilatannya tetap pelan dan lembut. Aku sudah tak tahan lagi! “VAAN…
Kakak…. MMMMmmmhHHH!!!!” Crooottt… Crroooottt… Crrroooottt…. Penisku
meledakkan sperma kuat-kuat berkali-kali ke wajah imut Vany. Vany
memejamkan mata dan menutup mulut rapat-rapat. Aku terus menyemprot
hingga hampir seluruh wajah dan dadanya yang besar berlumuran cairan
putih kental itu. Vany membuka mata, menjilat sperma sekitar mulutnya.
Cairan putih menetes dari daun telinga, juga poni rambutnya. Wajah
polosnya benar-benar belepotan sekarang. Aku mengangkat penisku dari
dadanya, masih tegang, sama seperti waktu itu. Rupanya memang tidak
cukup hanya sekali untuk memuaskan nafsuku. “Oke… Sekarang giliran kamu
lagi…” kataku. Aku menunduk ke arah selangkangannya. Kubuka tungkai Vany
hingga mengangkang sempurna. Celana dalamnya basah kuyup. Aku
menjulurkan jari telunjukku untuk menyentuh vaginanya. Perlahan,
kugerakkan naik-turun telunjukku di bibir vaginanya. “Mmm… Mmhhh… Kaak…”
desahnya pelan. Aku menusukkan telunjukku lembut lebih kedalam. Vany
menjengit. “Lagi, Kak…” “Tunggu…” Perlahan, kubuka celana dalamnya yang
berwarna putih. Vagina Vany masih belum berbulu, hanya rambut-rambut
sangat tipis yang tumbuh sedikit di sekitar bibir vaginanya. Bentuknya
pun indah, tembem. Klitoris Vany sudah menonjol keluar. Cairan bening
mengalir dari dalam vaginanya. “Wow… Kenapa badanmu sempurna gini sih?”
bisikku menggodanya. “Apaan sih kakak…” kata Vany. Tanpa berlama-lama,
aku langsung mencium vaginanya. Vany mengejang, menggeliat setiap kali
aku menyentuh klitorisnya dengan bibirku. Harum segar sekali baunya.
“Aahh… Kaakk… AaaaHH… Aa…” desah Vany. Aku menjulurkan lidah, kujilat
bibir vaginanya yang tembem. Vany menggeliat semakin kuat, mencengkeram
kepalaku. Aku meremas pantatnya perlahan-lahan sambil terus menjilati
vaginanya. “Kaakk… Kakakk… Oohh… Mmmhhh… Yess…” Vany mendesah. Nafasnya
berat, tak beraturan. Kujulurkan lidahku lebih dalam, kali ini
menjangkau bagian dalam vaginanya. Vany mendesah dan mendesis tak
karuan, pinggulnya menegang. Aku melirik ke atas, tangan kanannya sedang
meremas dadanya yang besar, memainkan puting kirinya yang sensitif.
Kugigit lembut klitoris adikku. “MMM!!! Kaaakkk!!! Keluaaarrrr!!!
Aaaahhh… AAAAHH!!!” Sebelum aku sadar, Vany telah menyemprotkan
cairannya ke wajahku. Semprotannya kencang sekali. Untung saja aku
sempat memejamkan mata dan menahan nafas. Belum sempat aku mengambil
nafas, Vany telah menyemprotkan orgasmenya yang kedua. Lebih banyak kali
ini. “Oohh… Oohh… Mmhhh… Hhh… Hhhh…” Vany terengah-engah tak karuan.
Dadanya bergerak naik-turun, mengatur nafas. Aku membenamkan wajahku di
dalam selimut, berusaha mengeringkannya. Vany tertawa geli melihat
kakaknya basah kuyup. “Apa kamu ketawa-ketawa…” ujarku. Geli juga sih…
“Hahahaha… Emang aku nyemprotnya sampe segitunya? Hahaha…” katanya geli.
“Hehe… Abis kamu tiba-tiba gitu… Dua kali, lagi…” kataku, akhirnya ikut
tertawa. “Kan aku udah bilang tadi…” jawabnya. Vany terkulai lemah di
ranjang, tapi matanya berbinar senang. “Hehehe… Nakal kamu…” bisikku.
Aku merebahkan diri di atas adikku, kemudian melumat bibirnya yang
mungil itu dengan sayang. Penisku masih tegang sekali, agak menyentuh
vaginanya. Vany berjengit, melepaskan ciuman. “Kak… Masih tegang, ya?”
tanyanya polos. Aku mengangguk. “Kamu sexy banget sih… Jadi tegang
terus…” aku berbisik menggodanya. “Mau disedot?” tawar Vany sambil
tersenyum. “Heh? Emang kamu bisa?” tanyaku, agak terkejut. “Bisa… Waktu
itu kan pernah ngintip Kakak lagi disedot Kak Grace…” jawabnya,
meyakinkanku. Grace itu pacarku. “… Eh… Apa namanya… Oral?” “Ya… Oral,”
kataku membenarkannya. “Nakal ya kamu ngintip-ngintip orang!” Vany
nyengir jahil. Ia mendorongku. Aku berguling ke sisinya, terlentang.
Vany bangkit dan membungkuk di atas kakiku, kepalanya menghadap penisku
yang tegak berdiri. “Mulai… Eh… Mulai dari sini kan ya?” tanyanya
ragu-ragu sambil menjulurkan tangannya yang mungil untuk menggenggam
penisku. Aku mengangguk. Perlahan, Vany mengocok penisku. Aku tahu ia
masih takut-takut. “Mmhh… Enak gitu Van… NnhHh.. Teruss…. Betul… Mhh…”
desahku. Lama-kelamaan Vany semakin yakin dan terbiasa dengan penisku.
Kocokkannya semakin mantap. Tak lama kemudian, ia mendekatkan bibirnya
ke kepala penisku, menjulurkan lidahnya untuk menjilat. Perlahan-lahan,
ia menjilati kepala penisku. Enak sekali. “Aahh… Ji… Jilat batangnya
juga, Sayang… Mmhh…” Vany menurut. Ia menjilati batang penisku dengan
bersemangat. Lama-kelamaan jilatannya semakin berani. Vany memutar-mutar
lidahnya di sepanjang penisku. “Slllrpp… Mmahh… Kaka… Enaa…k… Sllrpp?”
tanyanya sambil terus menjilat. Aku mengangguk, memejamkan mata,
berusaha menahan agar tidak orgasme terlalu cepat. Tiba-tiba, Vany
berhenti menjilatiku. Ia menegakkan tubuhnya, seolah bersiap-siap. “Abis
itu… Gini… Ya…?” Ia membungkuk, memasukkan penisku ke dalam mulutnya
yang mungil. Vany harus membuka mulutnya lebar-lebar agar penisku bisa
masuk semua. Rasanya luar biasa! “Mmhh… Ccpp… Bunya… Kak… Gdee… Mmm…
Cppp… B… Nget… Puah… Sampe susah nyedotnya…” katanya. Aku tertawa. Ia
kembali menyedot penisku, perlahan-lahan. Kepalanya bergerak naik-turun.
Di dalam, lidahnya memainkan bagian bawah batang penisku. Ia
melakukannya benar-benar seperti sudah profesional. “Kamu… Mmmhh…
Ngintipnya… Sampe kayak gimana… Mmmhhh… Waktu itu?” tanyaku. Tekniknya
memang mirip dengan Grace. “Dari… Mmmh… Slllrpp… Aw…al… Cppp… Mmmm…
Sppp… Samp…e… Abiss… Cpp…” jawabnya terpatah-patah. Pantas saja… Vany
semakin cepat menggerakkan kepalanya naik-turun. Rongga mulutnya yang
kecil menjepit penisku pas sekali, dan lidahnya yang menggeliat-geliat
di bagian bawah penisku sungguh membuatku tak berdaya. Aku tak yakin
apakah aku mampu bertahan lebih lama lagi. “Van… Oohh… Kaka…K… Mmhhh…
Aaahh… Mau keluar nih… Aahh.. Kayaknya…” Vany tidak memedulikanku. Ia
menggerakkan kepalanya semakin cepat, kemudian menyedot penisku
kuat-kuat sebelum melumatnya hingga ke pangkal. Aku benar-benar tak
tahan. “Vaann… Nnn… MMmhhhh… Uu… Udah… Dikasi.. Tau… Lo… OOOHHH!!!!!
AAAAHH!!” sebelum kalimatku selesai, Vany menyedot kuat sekali lagi, dan
aku meledakkan spermaku berkali-kali ke dalam mulutnya. “Aahhh… Aaa…
AAAHH!!! Mmmhh… OoooH!!!” desahku setiap kali penisku menembakkan cairan
ke dalam mulut adikku. Vany terus mempertahankan penisku di dalam
mulutnya. Cairan putih kental mengalir keluar dari balik bibirnya.
Rongga mulutnya yang mungil tak mampu menahan sperma kakaknya yang
menyemprot berkali-kali banyak-banyak. Aku menghela nafas panjang saat
akhirnya selesai. Vany merangkak, merebahkan diri di sisiku, mencium
pipiku. Aku menoleh dan melumat bibirnya yang belepotan spermaku. Kami
saling membelit lidah. Tak memikirkan betapa hubungan ini sebenarnya
terlarang. “Kak…” katanya lembut. “Ya?” “Thanks…” “Hahaha sekarang kamu
yang bilang thanks…” “Iya donk… Kakak enak banget…” “Kamu juga…” Kami
terdiam. Aku memejamkan mata. Lelah sekali rasanya. Vany memeluk
lenganku. Dadanya yang montok menekan, tapi kali ini aku sudah terlalu
lelah. “Kak…” ”Hmm?” “Enak mana… Sama Kak Grace?” tanya Vany. “Oralnya?”
“He-eh…” “Enak kamu…” “Bohoooonnnggg…!!” ujarnya. Aku tertawa.
“Hahaha.. Iya deehh… Enakan Grace…” kataku. “Jangan dibandingin donk…
Dia bibirnya sexy tebel gitu…” “Hehehe…” Vany terkekeh. Terdiam lagi.
Apa yang bakal Grace bilang kalo dia tau pacarnya punya hubungan intim
dengan adik kandung sendiri? “Kak…” “Hm?” “Lain kali…” “…Jangan lagi?”
aku memotong ucapannya. “Nggak…” katanya, tersipu. “… Lain kali lagi
yuk…” Aku tertawa. Adikku parah sekali rupanya. “Besok jalan yuk…” ajak
Vany. “Besok Kakak ada janji sama Cherry,” kataku. Cherry ini sahabatku
sejak SD. “… Mau anal ya?” bisiknya jahil. “Heehh??? Koq gituuu…??” “Kan
Kakak sering anal sama dia… Aku tau aja…” “… APAA???” “Dit! Jaga
belakang!” “DEFENSE! TAHAN ERIC!” Eric berlari ke arahku, menggiring
bola dengan lincah. Samuel mencoba menahannya, tapi ia terus berlari
dengan lincah. Sekarang tinggal satu lawan satu denganku. Semua terserah
padaku sekarang. Aku bergerak maju, membentangkan tanganku, menutup
ruang geraknya. Eric menganyunkan kakinya, menendang. Aku menerkam…
BUAK!!! Gelap… “Dit… Dit lu gapapa?” “Oi… Dit…” Perlahan, aku membuka
mataku… Wajah teman-temanku bergetar dan tampak kabur dalam pandanganku.
Aku mengerjapkan mata, saat itulah aku merasakan linu yang amat sangat
di selangkanganku. Sangat menyengat dan berdenyut-denyut rasanya. Eric
juga menunduk di atasku. Wajahnya pucat pasi. “Hei, man… Lu… Lu gapapa
kan? Gue tadi ga sengaja… Abis…” katanya tergagap. “Enak aja ga sengaja!
Kan udah jelas dia bakal loncat ngambil bola! Kenapa lu tetep hajar
sekenceng itu?!” Chris naik pitam, mendorong bahu Eric. “Tapi… Gue emang
ga sengaja!” “Alaahhh…!!” “Hei…” Semua menoleh ke arahku. “Chris,
udalah… Gue gapapa koq. Tadi lengah juga… Ric, gapapa… Gue tau lu ga
sengaja…” kataku menghibur. Mataku berair menahan sakit. Perutku mual.
Teman-teman tim futsalku berusaha menolongku berdiri. Aku berdiri dan
melangkah tertatih-tatih kea rah gawang. Sakit sekali rasanya. Eric
benar-benar mengerahkan kemampuan penuhnya tadi. Hari itu aku dan
teman-teman tim futsalku sedang bertanding melawan tim dari kompleks
lain. Lapangan futsal di dekat rumahku yang biasa kami sewa sedang
mengadakan kejuaraan futsal. Hari itu pertandingan terakhir penyisihan
grup. Sebenarnya kedua tim yang bertanding hari itu sudah pasti lolos;
kami hanya memperebutkan posisi juara grup, karena bila kami mendapat
posisi runner-up, lawannya adalah tim yang sangat jago dari grup lain.
Terus terang, kami agak ngeri melawan tim itu. Saat ini skor imbang 5-5…
Pertandingan tinggal tersisa 2 menit lagi. Jika posisi tetap seperti
ini, kamilah yang akan lolos sebagai juara grup. Tapi dalam 2 menit
terakhir ini tim Eric terus memborbardir gawang yang kukawal. “Hei… Lu
gapapa? Masih bisa maen lagi? Tinggal 2 menit koq…” Aku mengangguk,
berusaha menegakkan badanku di bawah mistar gawang. Pandanganku agak
kabur saat ini. Pertandingan dilanjutkan… * * * Aku berjalan
perlahan-lahan ke arah rumahku. Selangkanganku masih sakit rasanya. Aku
mengernyit, jengkel. Saat pertandingan tinggal tersisa 30 detik, sebuah
umpan silang dari kanan kotak penalti timku diteruskan Eric dengan
sebuah sundulan cantik. Aku benar-benar terkecoh. Akhirnya tim lawan
menang 6-5, dan mereka menjadi juara grup. Aku menggelengkan kepala.
Susah sekali berkonsentrasi hari ini, apalagi setelah terkena tendangan
bola futsal yang sangat keras tepat di penisku… Urgh! Aku menggelengkan
kepala lagi. Sebenarnya sudah sejak awal pertandingan aku sulit
berkonsentrasi. Pikiranku terpaku pada adikku Vany… Terutama apa yang
dilakukannya tadi pagi. Tadi pagi, Vany harus berangkat ke sekolah
karena ia menjadi ketua panitia MOS (Masa Orientasi Siswa) di sekolah.
Hari ini para siswa-siswi SMP baru sudah harus masuk ke sekolah untuk
menjalani masa orientasi, dan Vany harus menyiapkan segala sesuatunya
dengan baik. Sebelum pergi, pagi-pagi sekali, Vany membangunkanku dengan
ciuman nakal perlahan di leherku. Saat aku terbangun, aku melihat adik
kecilku yang imut itu tersenyum manis, dengan kancing kemeja seragam
sekolah yang tidak dikancingkan dan bra merah muda berenda yang
diangkat. Dadanya yang besar menggelayut menggiurkan di hadapanku.
Sekejap kemudian Vany sudah menjepit penisku dengan kedua dadanya yang
empuk, memijat dan meremasnya perlahan. Aku yang terkejut hanya bisa
menikmati sensasi luar biasanya. Tak butuh waktu lama bagiku untuk
meledakkan sperma kentalku berkali-kali melumuri wajahnya yang imut.
Setelah membersihkan wajahnya, Vany tersenyum puas, mengecup bibirku,
kemudian pergi ke sekolah. Bayangan akan apa yang terjadi pagi itu terus
terngiang di kepalaku, bahkan saat pertandingan futsal sedang
panas-panasnya sore itu. Mungkin itu yang membuatku dapat kebobolan
hingga tujuh gol. Gila… Lagipula… Sakit sekali… Bagaimana jika aku tidak
dapat tegang lagi untuk seterusnya? Apa kata Vany? Grace? Cherry?
Langkahku gontai melintasi halaman rumah. Aku membuka pintu depan rumah.
Sepi, kedua orang tuaku sedang menghadiri acara keluarga besarku di
Semarang selama seminggu. Aku membanting sepatu futsalku di tempat
sepatu, mendaki tangga dengan lemas menuju kamarku, membanting tas dan
sarung tangan kiperku, melepas semua pakaianku, kemudian melangkah ke
kamar mandi. Aku ingin cepat-cepat mandi air panas. Tanpa memperhatikan
apa-apa, aku membuka pintu kamar mandi. Aku tertegun. Vany sedang mandi
dengan santainya. Tampaknya ia tak sadar aku membuka pintu kamar mandi.
Vany bermain-main dengan air dari shower, menggosok lengan, leher,
pantat, dan tentu saja dadanya yang besar menggiurkan. “V… Van?” Vany
melonjak kaget. Ia berbalik, melihat kakaknya yang juga telanjang bulat
berdiri di hadapannya. “Eh… Kak? Koq ga ngetok dulu?” tanyanya gugup.
“Hah? Oh… Oh iya… Sory tadi kakak pikir ga ada orang…” “Oh… Hahaha ya
namanya kan kamar mandi bareng… Ketok dulu lah…” jawabnya santai.
“Gimana futsalnya?” “Kalah…6-5… Jadi runner up…” jawabku lemas. “Udah
gitu punya kakak ketendang bola kenceng banget lagi… Jarak dekat…”
“Hah??! Oh ya?” ujar Vany terkejut. Ia memperhatikan penisku. “Tapi…
Koq… Kayaknya gapapa ya…” lanjutnya. Aku menangkap nada geli dalam suara
manisnya. “Ya iyalah gapapa…. Dasar…” memang saat itu penisku sudah
kembali tegang setegang-tegangnya. Segala pikiran tentang apakah aku
dapat tegang lagi sirna sudah saat aku meihat tubuh Vany yang basah
kuyup sedang mandi. “Eh… Mm… Jadi…” kata Vany. “Hah? Oh…” aku tersenyum.
“Mau mandi bareng?” Vany nyengir. “Dasar nakal…” bisiknya. Tapi ia
membukakan juga pintu kaca pembatas ruang shower. Aku masuk, dan
seketika itu juga hangatnya air membasahi tubuhku. Damai dan tenang
sekali rasanya. Vany merapatkan dirinya ke arahku. Dadanya yang besar
menekan tubuhku, kenyal dan empuk sekali rasanya. Vany mengusap perlahan
punggungku. “Mau aku sabunin, Kak?” tawarnya. Aku mengangguk. Ia
mengambil botol sabun cair, menuangnya ke atas telapak tangannya,
kemudian mengusapnya perlahan di punggungku. Aku menunduk, memandang
adikku. Vany mendongak, tersenyum. Kami saling bertatapan beberapa lama.
Perlahan, Vany mendekatkan bibirnya ke arah bibirku. Aku menyambutnya
lembut. Sangat perlahan, kami berciuman. Lidah Vany menusuk ke dalam
mulutku dan membelit lidahku. Suara decak ciuman kami semakin lama
semakin nyaring. Ciuman kami semakin panas, tapi masih dalam gerakan
yang sangat perlahan. Aku menjulurkan kedua tanganku, meremas pantatnya
yang kencang dan bulat. Dalam benakku aku sungguh ingin meng-anal adikku
ini suatu hari nanti. Vany menekankan dadanya semakin kencang ke arah
tubuhku. Aku dapat merasakan putingnya yang mengeras, seksi sekali.
“Gimana MOS?” kataku saat ciuman kami terlepas. Aku bertanya sambil
meremas-remas dadanya yang besar. Empuk dan kenyal sekali. Rasanya
sungguh berbeda dengan dada cewek-cewek lain. “Seru… Tapi anaknya pada
susah diatur… Bandel-bandel…” katanya sambil memanyunkan bibir. Aku
tertawa. “Haha.. Bandel mana sama kamu? Hm?” “Aah Kakak…” bisiknya
manja. Tangan mungilnya sudah berpindah mengusap bagian depan tubuhku
sekarang. Aku memainkan putingnya yang telah sangat keras. Kujilati
putting kirinya yang sensitif, sementara tangan kiriku meremas dada
kanannya dengan nafsu. Vany memejamkan menikmati. Perlahan, tangannya
bergerak ke arah penisku yang sangat tegang. Vany jongkok, menghadapi
penisku sambil mengusapnya perlahan dengan sabun. “Aduh kacian… Kamu
tadi kena bola ya?” Vany berbicara pada penisku, seolah berbicara pada
anak kecil yang lucu. Ia mengusap-usapnya, mengocoknya perlahan. Enak
sekali. “Mmhh… Van… Tuh kan… Bandel kamu…” desahku. Vany nyengir. Ia
membiarkan air dari shower membilas sabun dari penisku hingga bersih. Ia
menjilat-jilat penisku dengan perlahan, dari pangkal hingga ujungnya.
“Aku sedot ya, Kak? Biar ilang sakitnya…” katanya sambil mendongak
memandangku. Aku mengangguk. Vany segera memasukkan penisku ke dalam
mulutnya. Perlahan-lahan, ia menggerakkan kepalanya maju, memasukkan
semakin banyak bagian dari penisku kedalam mulutnya. “Van.. Mmhh… Van
ati-ati keselek…” Vany terus memajukan kepalanya. Aku melihat semakin
lama ia semakin kesulitan. Saat ¾ bagian penisku sudah masuk, aku merasa
kepala penisku telah menyentuh leher dalamnya. Vany memainkan lidahnya
di bagian bawah penisku. Enak sekali. “Aaahh… Vann.. Van.. Terus gitu…
Mmmh…” Vany menyedot semakin kencang. Gerakan kepalanya pun semakin
cepat maju mundur. Lidahnya terus bergerak berputar-putar di bagian
bawah penisku, menjilat pangkalnya. Aku tak tahan lagi. “OOOHH.. VAANN…
Ka… Kak mau… Keluarrr… MmmmHH!!!” Aku meledakkan spermaku ke dalam
mulutnya. Mulutnya yang mungil tak sanggup menahan semprotan yang begitu
kencang. Vany melepaskan sedotannya, membuat semburanku beralih
melumuri wajahnya dengan cairan putih kental. “Ooh… Vaan… Van…” desahku
keenakan. Aku bersandar lemas ke tembok kamar mandi. Vany membiarkan
semburan air dari shower membersihkan mukanya. Enak sekali rasanya.
Penisku masih tegang, seperti 2 kali sebelumnya, tak cukup hanya sekali
aku merasakan kenikmatan adik kecilku ini. Vany memelukku. Dadanya yang
empuk menekan tubuhku. Gejolak antara akal sehat dan nafsu kembali
berkecambuk di benakku. Tapi memang nafsu selalu menang. Aku sudah
melangkah sejauh ini… Aku rasa sudah terlambat untuk berputar kembali.
Aku menunduk, menatap Vany yang balas menatapku. Dari sorot matanya, aku
tahu bahwa nafsu juga telah menguasainya. Tanpa sepatah kata pun, aku
membalikkan badannya ke arah dinding kamar mandi. Seolah tahu apa yang
hendak kulakukan, Vany meletakkan kedua tangannya pada tembok untuk
bertumpu, berjinjit, mengangkat pinggulnya, menyerahkan sepenuhnya
vaginyanya untukku. Aku mengarahkan penisku, meletakkannya di belahan
pantatnya yang montok. Sesaat, aku ingin mengawali semuanya dengan
meng-anal Vany, tapi sesaat kemudian aku telah menggeser perlahan kepala
penisku ke arah bibir vaginanya yang bersih tak berambut.
Kumain-mainkan bibir vaginanya dengan kepala penisku; kuusap perlahan,
lembut. “Mmh… Kak… Masukin aja langsung…” pintanya. Aku setuju.
Kumasukkan perlahan kepala penisku. Vany berjengit pelan. Aku merasakan
ketegangan mengaliri tubuh adikku. “Kamu yakin, Van?” tanyaku. Sekali
lagi, logika berteriak-teriak di pikiranku. DIA INI ADIKMU! SADAR! Aku
yakin suara yang sama juga berteriak, menggedor-gedor akal sehat Vany.
Tapi saat itu kulihat anggukan perlahan tapi mantap dari adik kecilku
ini. Keraguanku sirna. Perlahan, tak ingin menyakiti, aku menusukkan
penisku ke dalam vaginanya. Vany mengejang. Aku memasukkan semakin
dalam, sudah masuk ¼ bagian sekarang. Sempit sekali… Agak sulit. “Mmmhh…
Aaahh… Aaa… Aaahhh Kak… S… ” Vany mendesah. Aku tahu pasti terasa agak
sakit untuknya. “Kalo sakit kasi tau Kakak ya…” bisikku. Vany
mengangguk. Aku memasukkan semakin dalam. Kepala penisku menyentuh
selaput tipis. Keperawanan Vany dipertaruhkan. Sekali lagi aku bertanya.
“Kamu bener-bener yakin…?” Vany tidak menjawab. Tiba-tiba ia
mendorongkan pantatnya ke arahku dengan kencang. Selaput daranya robek,
penisku benar-benar masuk ke dalam vaginanya. “AAAHHH….!!!!” Jeritnya
kencang. Vany mengakhiri masa perawannya… Di usia 14 tahun. Aku melirik
ke bawah, darah segar mengalir pelan dari arah selangkangannya, mengalir
turun melalui pahanya. “Oohh… Oohh… Masuk… Hh… Aku… Dimasukin… Ka…kak…
Aaahh… Gede banget… Hhh…” desahnya, seperti berbicara pada dirinya
sendiri. Wajah Vany merah padam. Nafasnya tersengal. Aku tahu betapa
sakitnya saat pertama. Aku membelai rambut pendeknya perlahan. “Kalo
udah ga sakit bilang ya sayang…” bisikku lembut. “…. Mmh… Terusin aja
Kak…” pintanya. “Pelan-pelan…” Aku memasukkan penisku semakin dalam
perlahan-lahan. Luar biasa sempit dan hangat di dalam. Vagina Vany
seolah menjepit penisku. Aku terus memasukkan penisku hingga kepalanya
menyentuh ujung vagina Vany. Vany memiliki vagina yang sangat dalam
untuk cewek semungil dia. “Siap?” tanyaku. Vany tersenyum, mengangguk.
Kutarik penisku hingga setengah jalan, dan dengan kekuatan penuh aku
menghujamkannya kembali ke dalam. “Aaahh!!! Aaahh… Kakk!! Pelan… Pelaa…
AANN!! Oohh… Aaahhh!!!” Vany menjerit-jerit keenakan. Aku menggerakkan
pinggulku dengan kuat. Pikiranku semakin kabur. Realitas bahwa cewek
yang sedang kusetubuhi sekaran adalah adikku sendiri sedikit demi
sedikit hilang lenyap. “Ooohh… Vaaannn… Kam…u… Sempit bangeeett… Aaah…
Mmmhh!!” desahku. Aku menjangkau, meremas-remas dadanya yang
menggelayut, berguncang-guncang seirama hantaman penisku. “Kaa… Aaahhh…
Kakak… punya… Aaahhh… Kakak punya yang… Mmmhh!! Kegede… ann… aahhh…
Mhhh!!” jawabnya tak mau kalah. Vany mengeratkan jepitan vaginanya. Enak
sekali! Penisku seperti dipijat-pijat di dalam sana. “Aaahh… Aaahhh…
Mmmmhh!!! Mmmnn… Kaak… Ohh kakk…” desahnya setiap kali penisku menghujam
ke dalam vaginanya. Pinggulku seakan bergerak otomatis, tak bisa
berhenti. Sempit dan hangatnya vaginanya, dipadu dengan sensasi empuk
pantatnya yang menghantam-hantam pinggangku sungguh tak dapat dilukiskan
dengan kata-kata. Aku menggerakkan pinggulku semakin cepat. Kepala
penisku menghantam-hantam mulut rahim Vany. “Aaahhh!!! Kaakk… Kaa…
Ooohh… Tambah… Gede… Aaahhh!!! Kakak tambah ged…eee… Lagi di… Aaahhh!!!
Aaahhh!! Di dalem…MMMHHH!!! Kaaakkk!!!” Vany menjerit-jerit. Nafasnya
sudah tak beraturan sekarang. Aku semakin kencang menggerakkan
pinggulku. Suara pantatnya yang menghantam pinganggku menggema di kamar
mandi. “KAAKK!! KAA…KKK… LEPAS! LEPAS! LEPAAsss!! Aaakkuu… Mau… Kelu…
AAARR!!!” Vany tiba-tiba berteriak. Aku terkejut, segera menarik lepas
penisku dari vaginanya yang sempit. Seketika itu juga Vany
menyembur-nyemburkan cairan vaginanya. Semprotannya kencang sekali dan
berkali-kali. Vany merosot ke lantai, badannya gemetar hebat. Orgasme
pertamanya sungguh dahsyat. Tak menunggu lama, aku berlutut di
belakangnya, kutunggingkan pantat Vany dengan kedua tanganku. Jempolku
menarik bibir vaginanya lebar, dan penisku langsung menghujam dengan
kuat untuk kedua kalinya ke dalam tubuh Vany. Lebih mudah sekarang,
apalagi setelah squirting hebat tadi, vagina Vany menjadi sangat becek
dan licin. “Aaahhh!!! Kaaakkk… Kak! Kak… Kakk… Nnnhhh!!” Vany menjerit.
Buah pelirku menyenggol-nyenggol klitorisnya, membuat Vany semakin
kegilaan menikmati seks pertamanya. Aku menggerakkan pinggulku dengan
sangat cepat, menghantam bagian dalam vaginanya dengan kuat. Vany
kembali mengencangkan vaginanya. “Aah… aahhh… Aaahhh… aa… Kaak… Oohh…
Ooohh… Enak… Bangett… Mmm… Nnnhh!!!” desahnya. Aku rasa saatku sudah
semakin dekat. “Ooohh… Vaaann… Kakak… Mau… Keluaarr… Mmmhhh… Mmmmhh…
Aaahh…” kataku, tecekat. Vaginanya terasa begitu sempit dan nikmat.
“Aaahhh… Aaahhh… Kuarin… Di luar… Kaakk… Diluar kakk!!! Aaahh!!”
pintanya. “OOOHH!! VV… VVAANNN!!!!” Aku mencabut penisku, menjepitkannya
di antara kedua pantatnya yang kencang. Ccrroooottt!!! Crrooouuuttt!!!
Crruuoottt!!!! Aku meledakkan spermaku berkali-kali dengan kencang,
melumuri punggung dan pinggulnya, bahkan ada beberapa semprotan yang
mengenai belakang kepalanya. Vany terkulai, bernafas tersengal-sengal.
Aku berlutut, melirik ke bawah dan terkejut. Penisku masih sangat
tegang. Tubuhku seakan terus meminta tubuh Vany lagi dan lagi. Sebelum
ini belum pernah aku masih tegang setelah dua kali keluar. “Van… Lanjut
di kamar aja yuk…” ajakku. “Kakak… Hhh… Mas…Ih.. Bisa lagi?” tanyanya,
tersengal. Aku mengangguk, dengan keheranan yang sama dengannya. “Kamu
masih kuat?” Vany mengangguk lemas, masih terengah-engah dan gemetar.
Kumatikan shower. Aku mengambil handuk untuk mengeringkan badanku,
kemudian kuselubungkan handuk itu ke tubuh mungil Vany yang gemetaran.
Kubantu mengeringkan badannya. Kuangkat, kugendong adikku ke kamarku.
Kubaringkan ia dengan lembut di ranjangku. Aku naik ke ranjang, menunduk
di atas tubuhnya. Nafas Vany sudah lebih teratur sekarang, ia menatap
mataku. Dadanya yang besar bergerak naik-turun seiring tarikan nafasnya.
“Lanjutin Kak…” katanya sambil tersenyum. Tanpa kusuruh, ia mengangkat
pahanya, mengangkang sangat lebar di hadapanku. Aku mengarahkan penisku
ke bibir vaginanya. Untuk ketiga kalinya, kumasukkan penisku ke dalam
vaginanya yang sempit. Vaginanya yang semit seperti menyedot penisku ke
dalam. Vany menggeliat, menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya
mencengkeram seprei dengan erat. Perlahan, kuhujam-hujamkan penisku ke
dalam vaginanya. Tarik, masukkan, tarik, masukkan. Semakin lama semakin
kuat, semakin lama semakin cepat. “Aaahhh… AAHH!!! Teruss… Teruss…!!
Terus kakk… Aaahhh!!! Ooohh Kaakk!!!” Vany mendesah liar. Matanya
terpejam, menikmati. Sambil terus menghujamkan penisku, aku meremas
dadanya. Tak cukup, aku membenamkan wajahku di antara dua bantalan besar
yang empuk itu. Jemariku memainkan puting-putingnya yang tegang. “Kamu…
Makan apa sih… Mmhh… Vann… Koq bisa… Mmmmhh… Gede gini?” tanyaku.
“Aaahh… Aaahhh… Gata…Uu… Mmm… Tau… Tau tau… Gede… Aaahhh…” jawabnya
asal-asalan. Kujilati puting kirinya. Kusedot kuat-kuat, setengah
berharap akan merasakan susu yang manis menyemprot dari dalam dadanya
yang luar biasa itu. Vany meringis, cengkraman tangannya di seprei
semakin erat. “Aaahhhh!!! KaaKkk….!!! Maauu… Keluar… Lagggiiii!!!
AAAHHH!!!” Vany berteriak. Squirting untuk kedua kalinya, penisku
seperti disemprot cairan dingin. Aku tak peduli, kugerakkan pinggulku
semakin cepat. Vany mengangkat pahanya, membantuku. Aku mencengkeram
erat pinggangnya, menggerakkan tubuhnya seirama hantaman penisku.
Vaginanya semakin mengencang. Tiba-tiba, bagian dalam vagina Vany
seperti bergerak memijat penisku kuat-kuat dengan bergelombang. Aku
belum pernah merasakan sesuatu yang seperti ini! Terkejut, aku
memperlambat genjotanku. Aku mendongak, menatap wajah Vany yang merah
padam. Dari sorot matanya aku tahu ia dengan sadar melakukan yang
terakhir itu. “Van… Va… Gimana… Yang… Ooohh yang tadi itu enak banget!!!
Aahh…” kataku. Vany nyengir lemah. Dadanya mengayun-ayun mengikuti
irama gerakan pinggulku. “Kakak… Aaaahhh… Kak… Mau… Aaahhh… Mau lagi?”
godanya. Aku mengangguk cepat-cepat. Vany nyengir semakin lebar. “Tapi..
Tapi kalo kamu gitu lagi… Kakak bisa-bisa gak keburu ngeluarin di
luar…” kataku, agak cemas. “Gapapa Kak… Yang tadi itu… Mmmhh… Aku juga
enak banget… Gapapa… Keluarin di dalem aja… Nnhh… ” katanya. “Hah? Ntar…
Ntar kamu…” “…Gapapa…” Aku tahu ini gila. Vany memintaku mengeluarkan
spermaku di dalam tubuhnya. Bagaimana kalau dia hamil? Apa kata
orangtuaku? Tapi saat logika mulai merasuki pikiranku lagi, Vany
menggerak-gerakkan pinggulnya. Aku seperti otomatis kembali menghujamkan
penisku ke dalam vaginanya, menendang jauh-jauh logika. Gerakan
pinggulku semakin cepat dan cepat. Vany semakin mengencangkan vaginanya.
Aku yakin tak lama lagi aku akan keluar jika seperti ini terus.
“Aaahhh…. AaahH!!!… Kak… Kaakk… Siaap? Aahhh… Aaa…” tanyanya. Aku
mengangguk liar, semakin mempercepat genjotanku. Vany menegang,
berkonsentrasi. Gerakanku semakin liar. Nafas kami memburu, tak
beraturan. Dan sensasi itu datang lagi! Vaginanya seakan menyedot
penisku, dan gelombang yang sangat kuat berkali-kali datang memijat
penisku. Aku tak tahan lagi, sensasi ini sungguh luar biasa! “Vann!! OOH
Vaannn!!! Kakak mau… Aaaahhh… Aaahh!!! VAANN!!! Ke…KELUAR!! Aaahh…
Aaahhh!!!” pikiranku mengabur. Mataku berair. “DI DALEM!! DI… AAHHH!!!
Di daleemm…Keluarin di daleeemm!!!” jeritnya.
“VVVVVVAANN….VVAANNYY!!!!!!” Aku meledakkan spermaku sekuat-kuatnya ke
dalam rahim Vany. Aku keluar jauh lebih banyak dari yang sudah-sudah.
Satu-dua-empat-enam… Penisku seakan tak mau berhenti meledakkan
spermanya. Enak sekali, hangat sekali. Vagina sempit Vany tak cukup
menahan muatan sperma kakaknya. Cairan putih itu mengalir keluar,
melumuri bahkan penisku sendiri, mengalir membasahi sepreiku… Aku
mencabut penisku. Sudah lemas sekarang. Rasanya agak linu, keluar tiga
kali berturut-turut. Cairan putih kental masih mengalir keluar dari
vagina adikku, terlihat seksi sekali. Vany tergeletak lemas di
ranjangku. Matanya separuh terpejam. Mulutnya menganga kecil. Keringat
membanjiri tubuh kami. Aku merebahkan diri di sebelahnya,
terengah-engah. “Van… Hhh… Thanks…” “Iya… Aku yang thanks… Hhh…”
bisiknya. “…Enak banget…” Terdiam, hanya suara tarikan nafas terengah
kami yang terdengar. Berapa lama kemudian, aku menoleh menatap adikku
yang seksi ini. “Van… Kalo kamu hamil gimana? Kakak keluar banyak banget
loh tadi di dalem kamu…” tanyaku, cemas. “Gapapa… Nanti menikah sama
kakak…” “Ngawur kamu…” Vany tertawa. Terdiam lagi. Aku memejamkan mata,
belum pernah aku merasakan seks seenak ini. “Kamu belajar dari mana yang
terakhir tadi itu?” “Gatau… Tau-tau bisa aja…” “Ohya? Itu enak banget…”
“Lebih enak dari Kak Grace?” “Jauh…” Kami terdiam. “Kak…” “Ya?” “Mulai
sekarang… Kalo kakak pas pengen ML… Kasi tau aku…” katanya. “Aku
sepenuhnya milik kakak…” Aku terdiam. Tak bisa menjawab. Dalam hati aku
tahu kami sudah melanggar semua batas dan nilai yang normal. Tapi
kenikmatan ini sungguh luar biasa. “Papa-Mama kan pergi seminggu…”
kataku. “…Banyak kesempatan…” Vany tertawa. “Ya…” katanya. “Ntar malem
lagi?” “Kalo kuat…” “Besok?” “Sepanjang hari…” Vany tertawa lagi. Tawa
yang renyah dan imut. Ia berguling, memeluk lenganku dengan sayang.
“Van…” “Hm?” “Kapan-kapan… Coba anal yuk…” Vany nyengir. “Yuk…”
OBAT PEMBESAR PENIS
BalasHapus✔ Obat Pembesar Penis
✔ Pembesar Penis
✔ Alat Pembesar Penis
✔ Celana Pembesar Penis
✔ Obat Penyubur Sperma
✔ Oil Lintah Papua Asli
OBAT BIUS
✔ Obat Bius Cair
✔ Obat Tidur
OBAT PERANGSANG
✔ Obat Perangsang Cair
✔ Obat Perangsang Jel
✔ Obat Perangsang Wanita Cair
✔ Obat Perangsang
✔ Perangsang Wanita
✔ Perangsang Permen Ailida
✔ Perangsang Permen Valentine
✔ Permen Karet Perangsang
✔ Obat Perangsang Wanita
✔ Obat Perangsang Serbuk
BalasHapusVery good idea you've shared here, from here I can be a very valuable
new experience. all things that are here will I make the source of
reference, thank you friends...
Obat Pembesar Penis vimax canada
Obat Pembesar Penis Hammer Of thor's
Alat Sex Toys Wanita
Alat Sex Toys Pria
Obat Pembesar Penis
Obat Kuat Seks
Alat Pembesar Penis