Ringkasan ini tidak tersedia. Harap
klik di sini untuk melihat postingan.
Kamis, 27 Juni 2013
NIKMATNYA DI PERKOSA
Sebut saja namaku Lilis.
Sudah dua tahun lebih aku bekerja sebagai seorang pembantu di keluarga
Pak Dimas, seorang kepala desa yang sangat dihormati oleh warga
setempat. Dan selama itu pulalah aku merasakan pahit-manisnya menjadi
seorang pembantu, termasuk manisnya di perkosa.Malam itu udara terasa
panas, sampai-sampai aku susah sekali untuk tidur. Baru setelah aku
ganti pakaian dengan daster tipis dan menyalakan kipas angin, barilah
aku bisa tertidur. Dalam tidur aku sempat bermimpi,Pak Jali, yang
merupakan sopir pribadi keluarga Pak Dimas, datang menemuiku. Lucunya,
Pak Jali datang menemuiku dalam keadaan telanjang bulat.
Meskipun usianya sudah paruh baya, dan berbadan agak pendek, namun beliau masih memiliki postur tubuh yang kekar dan berotot. Khas orang desa yang suka bekerja keras. Dan yang membuatku geli adalah “buah terong” yang menggantung indah di pangkal pahanya. Ih…, begitu menggemaskan.Perlahan-lahan beliau mendekatiku dan langsung meremas remas buah dadaku yang telah terbuka bebas. Entah kenapa belaian Pak Jali terasa begitu nyata, seperti bukan dalam mimpi. Bahkan ketika bibir tebalnya mulai melumat kupingku aku sempat tersentak dan perlahan-lahan terjaga dari tidurku.
Namun betapa terkejutnya aku saat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata apa yang aku rasakan tadi bukan sekedar mimpi. Dihadapanku ternyata benar-benar ada sosok Pak Jali yang memeluk tubuhku.”Pak Jali…! Apa yang Bapak lakukan…?” Aku mendorong tubuh Pak Jali kuat-kuat sehingga dia terjengkang ke belakang. Segera aku menutupi tubuhku yang ternyata juga nyaris telanjang dengan selimut.”Tenang, Lis! Sudah lama aku memendam nafsuku terhadapmu…!” Kembali Pak Jali mencoba merengkuh tubuhku. Namun kembali aku mendorong tubuhnya kuat-kuat ke belakang.”Pergi…!” bentakku.”Atau saya akan teriak!”Silahkan teriak! Percuma saja kamu teriak. Karena tidak akan ada orang yang mendengarmu.
Apa kamu lupa, Pak Dimas dan keluarga tadi sore sudah berangkat ke Bandung untuk liburan! Jadi lebih baik kamu turuti saja keinginanku!”Pak Jali tersenyum sinis.Aku semakin ketakutan ketika Pak Jali kembali mendekatiku. Segera saja aku melompat dari ranjang dan mencoba berlari ke arah pintu dengan kondisi telanjang. Namun sial! Aku kalah cepat dengan Pak Jali. Dengan cepat, ia menyergapku dari belakang dan menghimpitkan tubuhku ke arah dinding. Kedua tangannya mencengkeram kuat lenganku ke atas tembok, sedangkan kedua kakinya mengunci kakiku sehingga aku sulit untuk bergerak. Aku mencoba untuk meronta sekuat tenaga. Namun percuma, tenaga Pak Jali memang jauh lebih kuat dibandingkan tenagaku yang hanya seorang wanita.
Semakin kuat aku meronta, semakin kuat cengkeraman Pak Jali di Tubuhku.”Tolong, Pak! Lepaskan saya!” aku menangis dan mengemis kepada Pak Jali. Namun percuma saja. Beliau tidak mendengarkan perkataanku. Bahkan dengan liar Pak Jali menghunjamiku dengan ciuaman mautnya. Lama kelamaan tanagaku terkuras habis. Tubuhku menjadi lemas. Aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Yang bisa aku lakukan hanyalah pasrah dan menuruti aturan mainnya Pak Jali.Perlahan-lahan cengkeraman Pak Jali mulai mengendor. Perlakuannya yang semula kasar mulai melunak dan berubah menjadi lembut. Bahkan aku mulai masuk dalam permainannya ketika dengan lembut Pak Jali mulai menggesek-gesekkan batan kejantanannya ke atas pahaku. Seketika itu kakiku terasa lemas dan lunglai. Aku tak kuat lagi menopang berat badanku sendiri, sehingga aku mulai terkulai. Namun dengan sigap, Pak Jali segera menangkap tubuhku, mengangkatnya lalu membopongku ke atas ranjang.Sesaat terlintas di wajah Pak Jali sebuah senyum kemenangan. Kemudian dengan lembut ia mulai melumat bibirku. Entah kenapa aku tidak kuasa untuk menolaknya. Bahkan ada dorongan kuat dari dalam diriku untuk membalas lumatannya itu. “Nah…, begitu dong Lis! Kalau begini kan lebih enak!” kata Pak Jali senang.Aku tersenyum tersipu-sipu.”Bapak benar, mungkin lebih baik saya menuruti bapak dari pertama tadi. Lagipula, sudah lama juga saya tidak mendapatkan sentuhan laki-laki”Kembali Pak Jali tersenyum senang.”Trus, ngapain kamu tadi pake coba berontak, Lis?”"Tadi saya cuma kaget saja. Di balik penampilan bapak yang bersahaja, kok tega-teganya bapak mencoba memperkosa saya. Tapi…, ah sudahlah! Yang pentingkan sekarang saya sudah menjadi milik Bapak!”Kembali Pak Jali mulai mencumbuku. Ciumannya mulai merambat melalui leherku kemudian turun ke buah dadaku.
Kumis tebalnya yang kasar menyapu kulit dadaku sehingga menimbulkan sensasi tersendiri yang semakin membuatku serasa terbang ke angkasa.Ciuman dan jilatan Pak Jali terus bergerak turun. Sementara tangan kirinya meremas-remas buah dadaku, tangan kanannya tengah sibuk di pangkal pahaku membuat pilinan-pilinan yang kurasa nikmat.”Oh…, Pak Jali! Jangan siksa aku seperti ini!” rengekku.Pak Jali tidak memperdulikan ucapanku. Justru ia malah menyibakkan rumput-rumput liar yang menghalangi pintu goa darbaku.”Wah…, Lis! Indah sekali memiaw kamu. Warnanya merah muda dengan baunya yang semerbak.
Oh…, sungguh mempesona. Bagaikan sekuntum mawar merah yang tengah merekah di pagi hari. Pasti kamu merawatnya dengan baik. Oh…, Lis! Aku suka sekali dengan memiaw yang seperti ini…!”Perlahan-lahan Pak Jali menjulurkan lidahnya dan menyapu permukaan klitorisku. Terasa kasar, memang. Tapi nikmat!”Ayolah, Pak…! Ouhh…, aku sudah tidak tahan lagi. Aku terus mengemis kepada Pak Jali. Namun dia terus mempermainkan emosiku. Akhirnya aku mencari inisiatif lain.Aku mencoba menggerayangi tubuh kekar Pak Jali sambil mencari-cari buah terong yang menggantung di pangkal pahanya.Dan tidak susah bagiku untuk menemukan buah terong sebesar itu. Dengan lembut dan manja, aku mulai mengocok batang kont*l Pak Jali di sertai dengan pijatan-pijatan yang membuat beliau merem melek.
Perlahan aku membimbing kont*lnya menuju ke memiawku yang sudah basah. Namun dengan nakal, Pak Jali hanya menempelkan dan menggesek-gesekkan ujung kepala kont*lnya di atas bibir vaginaku. Terasa geli, memeng. Tapi sensasi yang aku rasakan terasa begitu nikmat. Belum pernah aku merasakan yang seperti ini.”Oh…, Pak Jali! Ayolah….aku udah nggak tahan lagi…, cepet masukin dong!”Aku sudah tak bisa tahan diperlakukan seperti itu. Perlahan aku menaikkan pantatku ke atas untuk menyambut kejantanan Pak Jali yang sudah ngaceng. Kemudian aku menekan pantat Pak Jali ke bawah supaya kont*l itu bisa masuk dengan sempurna.”Aaarrrghhh…!” aku menjerit kecil ketika batang kont*l Pak Jali yang besar itu menembus liang vaginaku. Awalnya terasa seret dan perih, karena ukuran k*ntol Pak Jali memang besar dan panjang bila dibandingkan dengan milik suamiku.
Namun setelah buah terong itu tertanam beberapa saat di dalam liang vaginaku, rasa perih itu perlahan berubah menjadi rasa nikmat.Perlahan-lahan Pak Jali mulai mengayunkan pantatnya naik dan turun.”Hooohh.., Pak! Ssstt…, enak Pak!” aku jadi ngomong tak karuan.”A…yo, Lis!Goyangkan ju…ga pan..tatmu! Ooohhh…!”Aku menuruti kata Pak Jali. Kucoba untuk mengikuti irama dan gerakan-gerakan nikmat yang dilakukan Pak Jali. Gesekan-gesekan halus antara batang kont*l Pak Jali dengan dinding vaginaku terasa begitu nikmat.”Ohhh…, Lis! Ya…begitu…! Te…rus…goyangkan pantatmu! Uuuhh…, oohh…, yes…!”Pak Jali tampak begitu menikmati permainan kami.
Kulihat wajahnya menengadah dengan mata terpejam, seolah meresapi sedotan dari vaginaku. Sesekali dari bibirnya terdengar lenguhan dan desisan kenikmatan.Akupun juga menikmati sodokan-sodokan mantap batang k*ntol Pak Jali. Bahkan aku memeluk tubuh kekar Pak Jali dengan erat. Seolah tak ingin berhenti dari permainan itu. Keringat mengalir deras melalui pori-pori tubuh kami, sehingga dada bidang Pak Jali yang berbulu lembut tampak mengkilat karena basah oleh keringat.
Aku tidak menyangka, ternyata di usianya yang mencapai setengah abad itu, Pak Jali masih memiliki stamina yang prima. Sampai-sampai aku kewalahan menghadapi goyangan dan sodokan mautnya. Hingga akhirnya aku merasakan ada sesuatu yang berdenyut dari dalam rahimku.”Ooohh…, Pak! Saya…, mau ke..luar…!Ssshhhtt…, Arrhhhggg…!” Aku tidak kuat lagi menahan sesuatu yang mendesak keluar dari dalam rahimku. Namun Pak Jali masih terus mengayunkan kont*lnya keluar masuk dan menusuk-nusuk goa darbaku. Dan beberapa saat kemudian, aku juga merasakan batang k*ntol Pak Jali mulai berdenyut-denyut didalam vaginaku.
Meskipun usianya sudah paruh baya, dan berbadan agak pendek, namun beliau masih memiliki postur tubuh yang kekar dan berotot. Khas orang desa yang suka bekerja keras. Dan yang membuatku geli adalah “buah terong” yang menggantung indah di pangkal pahanya. Ih…, begitu menggemaskan.Perlahan-lahan beliau mendekatiku dan langsung meremas remas buah dadaku yang telah terbuka bebas. Entah kenapa belaian Pak Jali terasa begitu nyata, seperti bukan dalam mimpi. Bahkan ketika bibir tebalnya mulai melumat kupingku aku sempat tersentak dan perlahan-lahan terjaga dari tidurku.
Namun betapa terkejutnya aku saat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata apa yang aku rasakan tadi bukan sekedar mimpi. Dihadapanku ternyata benar-benar ada sosok Pak Jali yang memeluk tubuhku.”Pak Jali…! Apa yang Bapak lakukan…?” Aku mendorong tubuh Pak Jali kuat-kuat sehingga dia terjengkang ke belakang. Segera aku menutupi tubuhku yang ternyata juga nyaris telanjang dengan selimut.”Tenang, Lis! Sudah lama aku memendam nafsuku terhadapmu…!” Kembali Pak Jali mencoba merengkuh tubuhku. Namun kembali aku mendorong tubuhnya kuat-kuat ke belakang.”Pergi…!” bentakku.”Atau saya akan teriak!”Silahkan teriak! Percuma saja kamu teriak. Karena tidak akan ada orang yang mendengarmu.
Apa kamu lupa, Pak Dimas dan keluarga tadi sore sudah berangkat ke Bandung untuk liburan! Jadi lebih baik kamu turuti saja keinginanku!”Pak Jali tersenyum sinis.Aku semakin ketakutan ketika Pak Jali kembali mendekatiku. Segera saja aku melompat dari ranjang dan mencoba berlari ke arah pintu dengan kondisi telanjang. Namun sial! Aku kalah cepat dengan Pak Jali. Dengan cepat, ia menyergapku dari belakang dan menghimpitkan tubuhku ke arah dinding. Kedua tangannya mencengkeram kuat lenganku ke atas tembok, sedangkan kedua kakinya mengunci kakiku sehingga aku sulit untuk bergerak. Aku mencoba untuk meronta sekuat tenaga. Namun percuma, tenaga Pak Jali memang jauh lebih kuat dibandingkan tenagaku yang hanya seorang wanita.
Semakin kuat aku meronta, semakin kuat cengkeraman Pak Jali di Tubuhku.”Tolong, Pak! Lepaskan saya!” aku menangis dan mengemis kepada Pak Jali. Namun percuma saja. Beliau tidak mendengarkan perkataanku. Bahkan dengan liar Pak Jali menghunjamiku dengan ciuaman mautnya. Lama kelamaan tanagaku terkuras habis. Tubuhku menjadi lemas. Aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Yang bisa aku lakukan hanyalah pasrah dan menuruti aturan mainnya Pak Jali.Perlahan-lahan cengkeraman Pak Jali mulai mengendor. Perlakuannya yang semula kasar mulai melunak dan berubah menjadi lembut. Bahkan aku mulai masuk dalam permainannya ketika dengan lembut Pak Jali mulai menggesek-gesekkan batan kejantanannya ke atas pahaku. Seketika itu kakiku terasa lemas dan lunglai. Aku tak kuat lagi menopang berat badanku sendiri, sehingga aku mulai terkulai. Namun dengan sigap, Pak Jali segera menangkap tubuhku, mengangkatnya lalu membopongku ke atas ranjang.Sesaat terlintas di wajah Pak Jali sebuah senyum kemenangan. Kemudian dengan lembut ia mulai melumat bibirku. Entah kenapa aku tidak kuasa untuk menolaknya. Bahkan ada dorongan kuat dari dalam diriku untuk membalas lumatannya itu. “Nah…, begitu dong Lis! Kalau begini kan lebih enak!” kata Pak Jali senang.Aku tersenyum tersipu-sipu.”Bapak benar, mungkin lebih baik saya menuruti bapak dari pertama tadi. Lagipula, sudah lama juga saya tidak mendapatkan sentuhan laki-laki”Kembali Pak Jali tersenyum senang.”Trus, ngapain kamu tadi pake coba berontak, Lis?”"Tadi saya cuma kaget saja. Di balik penampilan bapak yang bersahaja, kok tega-teganya bapak mencoba memperkosa saya. Tapi…, ah sudahlah! Yang pentingkan sekarang saya sudah menjadi milik Bapak!”Kembali Pak Jali mulai mencumbuku. Ciumannya mulai merambat melalui leherku kemudian turun ke buah dadaku.
Kumis tebalnya yang kasar menyapu kulit dadaku sehingga menimbulkan sensasi tersendiri yang semakin membuatku serasa terbang ke angkasa.Ciuman dan jilatan Pak Jali terus bergerak turun. Sementara tangan kirinya meremas-remas buah dadaku, tangan kanannya tengah sibuk di pangkal pahaku membuat pilinan-pilinan yang kurasa nikmat.”Oh…, Pak Jali! Jangan siksa aku seperti ini!” rengekku.Pak Jali tidak memperdulikan ucapanku. Justru ia malah menyibakkan rumput-rumput liar yang menghalangi pintu goa darbaku.”Wah…, Lis! Indah sekali memiaw kamu. Warnanya merah muda dengan baunya yang semerbak.
Oh…, sungguh mempesona. Bagaikan sekuntum mawar merah yang tengah merekah di pagi hari. Pasti kamu merawatnya dengan baik. Oh…, Lis! Aku suka sekali dengan memiaw yang seperti ini…!”Perlahan-lahan Pak Jali menjulurkan lidahnya dan menyapu permukaan klitorisku. Terasa kasar, memang. Tapi nikmat!”Ayolah, Pak…! Ouhh…, aku sudah tidak tahan lagi. Aku terus mengemis kepada Pak Jali. Namun dia terus mempermainkan emosiku. Akhirnya aku mencari inisiatif lain.Aku mencoba menggerayangi tubuh kekar Pak Jali sambil mencari-cari buah terong yang menggantung di pangkal pahanya.Dan tidak susah bagiku untuk menemukan buah terong sebesar itu. Dengan lembut dan manja, aku mulai mengocok batang kont*l Pak Jali di sertai dengan pijatan-pijatan yang membuat beliau merem melek.
Perlahan aku membimbing kont*lnya menuju ke memiawku yang sudah basah. Namun dengan nakal, Pak Jali hanya menempelkan dan menggesek-gesekkan ujung kepala kont*lnya di atas bibir vaginaku. Terasa geli, memeng. Tapi sensasi yang aku rasakan terasa begitu nikmat. Belum pernah aku merasakan yang seperti ini.”Oh…, Pak Jali! Ayolah….aku udah nggak tahan lagi…, cepet masukin dong!”Aku sudah tak bisa tahan diperlakukan seperti itu. Perlahan aku menaikkan pantatku ke atas untuk menyambut kejantanan Pak Jali yang sudah ngaceng. Kemudian aku menekan pantat Pak Jali ke bawah supaya kont*l itu bisa masuk dengan sempurna.”Aaarrrghhh…!” aku menjerit kecil ketika batang kont*l Pak Jali yang besar itu menembus liang vaginaku. Awalnya terasa seret dan perih, karena ukuran k*ntol Pak Jali memang besar dan panjang bila dibandingkan dengan milik suamiku.
Namun setelah buah terong itu tertanam beberapa saat di dalam liang vaginaku, rasa perih itu perlahan berubah menjadi rasa nikmat.Perlahan-lahan Pak Jali mulai mengayunkan pantatnya naik dan turun.”Hooohh.., Pak! Ssstt…, enak Pak!” aku jadi ngomong tak karuan.”A…yo, Lis!Goyangkan ju…ga pan..tatmu! Ooohhh…!”Aku menuruti kata Pak Jali. Kucoba untuk mengikuti irama dan gerakan-gerakan nikmat yang dilakukan Pak Jali. Gesekan-gesekan halus antara batang kont*l Pak Jali dengan dinding vaginaku terasa begitu nikmat.”Ohhh…, Lis! Ya…begitu…! Te…rus…goyangkan pantatmu! Uuuhh…, oohh…, yes…!”Pak Jali tampak begitu menikmati permainan kami.
Kulihat wajahnya menengadah dengan mata terpejam, seolah meresapi sedotan dari vaginaku. Sesekali dari bibirnya terdengar lenguhan dan desisan kenikmatan.Akupun juga menikmati sodokan-sodokan mantap batang k*ntol Pak Jali. Bahkan aku memeluk tubuh kekar Pak Jali dengan erat. Seolah tak ingin berhenti dari permainan itu. Keringat mengalir deras melalui pori-pori tubuh kami, sehingga dada bidang Pak Jali yang berbulu lembut tampak mengkilat karena basah oleh keringat.
Aku tidak menyangka, ternyata di usianya yang mencapai setengah abad itu, Pak Jali masih memiliki stamina yang prima. Sampai-sampai aku kewalahan menghadapi goyangan dan sodokan mautnya. Hingga akhirnya aku merasakan ada sesuatu yang berdenyut dari dalam rahimku.”Ooohh…, Pak! Saya…, mau ke..luar…!Ssshhhtt…, Arrhhhggg…!” Aku tidak kuat lagi menahan sesuatu yang mendesak keluar dari dalam rahimku. Namun Pak Jali masih terus mengayunkan kont*lnya keluar masuk dan menusuk-nusuk goa darbaku. Dan beberapa saat kemudian, aku juga merasakan batang k*ntol Pak Jali mulai berdenyut-denyut didalam vaginaku.
Sampai
akhirnya….”Aaaoouuhhh…, Lis! Nikmat bangeet!”Cairan putih kental
menyembur deras dari ujung tongkol Pak Jali. Pak Jalipun kemudian
menjatuhkan diri ke sisi tubuhku. Nafasnya tampak terengah-engah dan
terlihat kecapean.”Oh…, Pak Jali! Bapak memang benar-benar hebat. Sudah
lama saya tidak merasakan nikmat seperti ini. Terima kasih ya Pak!”
Aku memeluk tubuh Kekar Pak Jali.Kusandarkan kepalaku di dada bidang
Pak Jali sambil mengelus-elus bulu-bulu lembut yang berbaris rapi
sampai ke pangkal pahanya. Dengan lembut pula Pak Jali membelai
rambutku yang sedikit oleh keringat. Ah…, ternyata diperkosa itu tidak
selamanya tidak enak. Kali ini justru aku mengharapkannya lagi….
AKU MALU MA OM-OM KARNA MELAYANI KEWALAHAN
Ah.Om-om sudah pernah aku coba,kadang tu aku sampai-sampai kwalahan abis Dedek nya om kuat banget,aku jadi merem melek.
Ada juga yang sudah klenger sebelum aku mencapai orgasme.Saatnya berburu lagi om-om asyik juga,kadang kantongnya tebel lumyan
buat isi perur dan shoping di mall habisin waktu libur bersama
teman.Bulan ini setelah sempat berkumpul-kumpul di cafe aku dan
teman-temen sepakat untuk berlibur di suatu tempat.
Aku dan temen2ku,
Lina dan Sintia, weekend akhirnya di setujui untuk meluncur ke Anyer.
Sintia nyewa cottage disana ya untuk bisa happy tentunya’. Kali ini
mereka berdua
gak bawa pasangannya masing2 itu ada maksudnya, karena memang kita ber3
mo berburu om om. Sebenarnya mereka mo bawa pasangannya, tapi karena
aku gak punya pasangan tetap, gak jadi deh. “Kamu sih Nes, gak punya
pasangan tetap”, protes mereka. “Ngapain punya pasangan tetap, banyak
kok lelaki yang mo bikin Ines klepek2 sampe lemes”, aku membela diri.
Akhirnya mereka
mengalah. Kita nyampe di Anyer Jumat sore, banyak juga lelaki yang lalu
lalang di pantai didepan cottage yang disewa Sintia. Ada yang bawa
pasangan, tapi banyak juga yang sendirian. Segera kami ber3 memakai
seragam wajib buat mejeng, bikini yang minim dan seksi. Kami bermain2 di
pantai sambil melirik lelaki ganteng yang mondar mandir disana. Segera
saja Lina dan Sintia dapat pasangan, mereka langsung cabut dengan
pasangannya masing2 meninggalkan aku sendirian. Memang kalo pergi ber3,
aku selalu yang paling akhir dapet pasangan. Aku berbaring saja di kursi
yang banyak tersedia dipantai, sampe akhirnya ketiduran.
Aku terkejut
ketika ada yang menyenggol2 kakiku. Aku membuka mataku. Ada seorang
lelaki ganteng, badan tegap, pokoknya tipeku bangets deh, bertelanjang
dada hanya mengenakan celana pendek gombrong. “Halo, aku Edo. Sori ya
membangunkan kamu. Kok sendirian sech”, tanyanya. “Saya Ines. Tadi sih
datengnya ber3, teetapi temen2 Ines pergi gak tau kemana sama
pasangannya masing2. Jadi Ines sendirian deh, sampe ketiduran. Om juga
sendiri, eh boleh kan manggil om”, jawabku.
“Boleh aja, mau
gak kamu nemenin om”. “Emangnya om juga sendirian ya kemarinya, itu mah
diniatin karena disini pasti om juga nyari pasangan, nyarinya yang abg
kan om?”. “Ah bisa aja kamu. Om kemari sama pasangan kok, sama istri.
Gini Nes, om mau terus terang. Istri om pengen banget ngeliat om ngentot
ama prempuan lain”. Dia terdiam sejenak memandangiku, melihat apa
responsku terhadap keterus-terangannya.
“aku hanya
tersenyum2 saja. “Kok cuma senyam senyum Nes, kamu mau gak ama saya dan
istri, threesome gitu Nes”. Aku senang aja dapet tawaran seperti itu,
biasanya kalo aku ber threesome, lelakinya 2 sampe aku termehek-mehek
(kaya acara tv aja yach) ngeladeninya. Aku sih gak yakin itu istrinya,
paling juga TTM nya, tapi siapa perduli. “Ok om, Ines mau deh”. “ener ya
Nes, terima kasih deh”. “Kok om milih Ines sih, tuh disana ada beberapa
cewek yang sepertinya abg juga”. “Om dah survei mereka, om sreknya sama
kamu Nes, om napsu banget liat kamu.
Bikini kamu
minim banget, toket kamu besar lagi. Jembut kamu lebat ya Nes”. “Kok om
tau sech”. “La iyalah, bulutangan ama bulukaki kamu panjang2, terus kamu
ada kumisnya. Pasti jembut kamu lebat banget, dan juga napsu kamu juga
besar kan. Kamu pasti gak puas cuma maen 1 ronde. Iya apa iya?” “Om dah
pengalaman rupanya ya”.
“Yuk deh ke
cottage om, istri om dah nunggu disana”. “Istri apa istri sih om”,
godaku. Dia hanya senyum2 saja mendengar godaanku. Aku digandengnya ke
cottagenya, melalui cewek2 abg yang lagi bercanda2, mereka semua juga
berbikini. “Om, gak jadi nih ngajak kita?’, mereka mengganggu om Edo.
Sesampainya di
cottagenya, ada seorang wanita, belum tua tapi yang pasti bukan abg dan
jauh lebih tua dari aku, juga berbikini. “Ini Lina, istri om”. “Saya
Ines tante”. “Jangan panggil aku tante, belum tua kok dipanggil tante,
panggil nama aja biar lebih akrab”, protesnya. Lina tubuhnya tinggi
semampai, lebih tinggi dari rata rata wanita Indonesia. Kulitnya mulus,
berwarna kuning langsat (kenapa harus kuning ? apa tidak ada warna lain?
He.. he.. heee), wajahnya bernuansa oriental.
Tapi herannya
kenapa toketnya besar ya ? Biasanya tipe tipe seperti itu kan toketnya
cenderung kecil. Ukuran bra nya 34C (sama dong seperti aku). Toketnya
yang besar terlihat bergelayutan seakan akan mau meloncat dari dalam bra
bikini nya. Pentilnya kelihatan jelas tercetak karena branya tipis.
Perutnya rata bener, mungkin belum punya anak, apalagi dengan berlian
yang ditindikkan di pusarnya sebentar sebentar berkilauan bila dia
menggerakkan tubuhnya. Sedangkan pahanya, alamak, betul betul paha
peragawati, mulus sekali. Belum lagi matanya yang redup sayu membuat
laki laki yang ditatapnya merasa seperti dipanggil untuk mendekat.
Kamipun pergi
ke belakang cottage. Rupanya om Edo menyewa cottage yang ada fasilitas
kolam renang pribadi yang tertutup dari pandangan orang lain. Ditepi
kolam renang ternyata sudah dipersiapkan semacam kasur angin ( seperti
yang diiklankan di TV itu lho ).Disampingnya ada meja taman yang
diatasnya terletak buah buahan, sebotol wine dan beberapa botol soft
drink. Tentu saja ada juga tiga buah gelas kristal yang cantik.
Tapi aku tidak
tertarik dengan semua itu, karena setiba ditepi kolam renang, buru buru
aku menceburkan diri ke air. Rupanya inisiatifku diikuti oleh mereka
berdua. Kuperhatikan kontol om Edo ternyata sudah ngaceng dibalik celana
gombrongnya, walaupun belum seratus persen. Tidak begitu lama kami
berada diair. Kemudian kami bertiga duduk di kasur angin tersebut.
Kini aku yang
mengambil inisiatif. Kudorong tubuh om Edo supaya telentang dan kutarik
tangan Lina untuk memegang kontol om Edo. Sedang aku sendiri cepat cepat
memperamainkan toket Lina dari belakang sambil menciumi belakang
telinga dan kuduknya. Diperlakukan demikian, apalagi sambil memegangi
kontol om Edo yang sudah tambah mengeras, nafsu Lina rupanya cepat naik.
Nafasnya agak memburu sedang mukanya sudah mulai memerah. Melihat itu
om Edo mulai beraksi mengambil alih permainan.
Sambil
merebahkan tubuh Lina dikasur, aku disuruh menghisap menciumi toket Lina
dari luar branya, sedang dia mulai menciumi paha sebelah dalam Lina,
terus keatas, sampai ke daerah nonoknya. Sedang tangannya yang kiri
mulai menggerayangi nonokku yang juga sudah mulai gatal. Permainan tidak
berlangsung lama, om Edo segera melepas bikini Lina sehingga Lina
sekarang bertelanjang bulat. Toketnya yang besar dan kencang dihiasi
dengan sepasang pentil yang juga sudah mengeras. Jembutnya juga lebat,
walaupun tidak selebat jembutku. Kemudian dia melepaskan bikiniku,
paling akhir dia melepas celana gombrongnya.
Kontolnya yang
sudah ngaceng dengan kerasnya, berdiri mengangguk2, panjang dan besar
sekali. Sampai dibelahan nonok Lina, tanpa basa basi mulut om Edo
langsung menyerbu dan menjilat jilat sambil menghisap hisap itil Lina.
Lina langsung menggelinjang hebat. Mulutnya mulai mendesis
“Ouccggghhh…….” om Edo sadar bahwa dia harus memuaskan dua orang cewek
secara bergantian dan berkali kali, maka tanpa membuang waktu lebih lama
dia sodorkan kontolnya yang sudah ngaceng penuh itu ke belahan nonok
Lina.
Dia menggosok
gosokkan ujung kontolnya ke itil dan bibir nonok Lina. Tentu saja hal
tersebut membuat Lina bergelinjang tidak keruan. Lina langsung memegang
kontol om Edo yang luar biasa besar itu untuk dimasukkan kedalam
nonoknya. Tidak mudah, mungkin karena nonok Lina masih sempit. Aku jadi
semakin yakin bahwa Lina bukan istri om Edo. Kalo dia istrinya,
harusnyaom Edo tidak sulit untuk membenamkan kontol gedenya di nonok
Lina. Maka, sambil menghisap hisap toket Lina, jari jari nya menolong
membuka bibir nonok Lina supaya bisa dilalui kontolnya.
“Uuuccchhh…..mmmhhhh “ rintih Lina menahan rasa nikmat. Tak berapa lama
kontol om Edo berhasil juga menyeruak kedalam nonok Lina, walaupun baru
sebatas kepala dan separo batangnya saja.
Itupun sudah
membuat Lina menjerit tertahan merasakan nikmat . “ Oouugghhhh…maas,
tteerruuussss ….. oouughhh … eennnaakkkk… “ celotehnya. Mukanya jadi
merah membara, matanya membeliak beliak keatas, pahanya makin dilebarkan
dan pinggulnya diangkat angkat keatas. Walaupun mulutnya masih terus
menghisap hisap toket Lina, terdengar bisikannya padanya “ Goyang Lin,
goyang pantatmu supaya kontol ku cepat bisa masuk seluruhnya “ Diapun
menggoyang goyangkan pantatnya diringi dengan hunjaman keras kontol om
Edo, maka blesss… amblaslah semua batang kontol om Edo.
“Aaarrggccchhhh……”
pekik Lina “Maas…… kkontttoll mu ……mmmhhhhh…eennaakkk sseekkalliii….”
Setelah itu om Edo makin giat menghunjam hunjamkan kontol besarnya ke
dalam nonok Lina yang makin menggelinjang gelinjang dengan hebatnya.
Tubuhnya yang sudah basah dengan air itu makin basah lagi bercampur
dengan keringat, sedang selangkangan dan jembutnya makin basah dengan
cairan yang mulai keluar dari lubang nonoknya. Matanya makin membeliak
beliak sambil mulutnya yang mungil itu ternganga nganga.
Akupun mulai
berinisiatif lagi, lidahku mulai menjilati muka Lina, bibirnya, turun ke
leher, dan akhirnya ke toketnya yang besar itu lagi. Tentu saja hal
tersebut membuat tubuh Lina yang telanjang itu makin menggelinjang.
Kurang dari setengah jam Lina kami perlakukan demikian ketika tiba tiba
tangan Lina yang kanan mencengkeram erat erat tanganku, sedang tangannya
yang kiri memeluk erat erat pinggang om Edo. Sambil mengangkat
pinggulnya tinggi tinggi orgasmenya meledak diriringi teriakannya
“Aaaarrrggghhh… Maaas ….oooccchhhhhhh……” Linapun terkapar sambil
tangannya memegangi kontol om Edo yang tentu saja belum orgasme. Lina
rupanya tidak ingin cepat cepat kehilangan kontol itu dari nonoknya.
Aku terpana
sekali menyaksikan adegan itu. Tangankupun tanpa sadar telah mengelus
elus nonok dan itilku sendiri. Tetapi sadar akan tugasnya untuk
memuaskan diriku juga, maka dengan halus om Edo melepaskan kontolnya
dari nonok Lina dan mengacungkannya padaku. Tentu saja hal itu kusambut
dengan bahagia, kupegang kontol itu kuusap usap, kucium kemudian ku
hisap hisap sambil kutelan sisa cairan dari nonok Lina yang menempel
hingga bersih. Akupun ingin memamerkan kepiawaianku ngentot kepada Lina,
maka setelah menghisap hisap kontol om Edo, kusuruh dia tidur telentang
sehingga kontolnya mencuat keatas. Akupun segera menungganginya sambil
berusaha memasukkan kontol om Edo kedalam nonokku, dan bleessss…
masuklah kontol om Edo seluruhnya.
Aku
tergelinjang ketika ujung kontol om Edo menyentuh bagian paling
sensitive didalam nonokku, tapi kuusahakan bagian itu tidak tersentuh
dulu, supaya perngentotan ini berjalan agak lama. Beberapa saat menaik
turunkan pantatku diatas tubuh om Edo. Ternyata Lina memperhatikan
adegan ini, dan dengan mata terbelalak sambil mulutnya terbuka, dia
bangkit duduk untuk menyaksikannya lebih dekat.
“Hisap pentil
toket om Edo, Lin.. “ suruhku pada Lina. Tentu saja Lina menurut, dan
sambil menungging dihisap hisapnya pentil toket om Edo. Kesempatan ini
rupanya dimanfaatkan oleh om Edo. Sambil merem melek keenakan, dia mulai
mempermainkan itil Lina, dipencet pencetnya, digosok gosoknya, sehingga
Lina menggelinjang gelinjang keenakan. Melihat muka Lina makin memerah,
om Edo meminta persetujuanku untuk menuntaskan hasrat birahi Lina lagi.
“Percayalah, aku tidak akan sampai ngecret ….” bisiknya. Akupun
mengangguk setuju.
Kemudian dengan
lembut toket Lina didorong sehingga dia rebah telentang. Om Edopun
memulai lagi aksinya. Disedot sedotnya itil Lina sambil dijilat jilatnya
dengan rakus. Aku makin terpana melihat wajah Lina yang mengeluarkan
ekspresi yang sulit untuk kuceritakan. Pokoknya ekspresi untuk meminta
segera dientot lagi. Mungkin om Edo sadar bahwa masih ada tugas
selanjutnya yaitu mengentotiku, maka tanpa buang buang waktu segera
diacungkannya kontolnya ke mulut Lina. Agak kikuk Lina menerima
pemberian itu, tetapi karena tadi dia melihatku, mengelus elus, menjilat
jilat dan menyedot nyedot kontol om Edo, maka diapun berusaha berbuat
demikian. Hampir tidak masuk kontol om Edo kedalam mulut Lina yang
mungil itu.
Setelah
beberapa saat dihisap hisap, kemudian om Edopun mencabut kontolnya dari
mulut Lina dan langsung mengarahkannya ke tengah lobang nonok Lina dan
…bleeesss………karena nonok Lina sudah banjir, hanya dengan sedikit
kesulitan kontol om Edo sudah amblas seluruhnya kedalam lubang nonok
Lina dan…..”Ooouuuggghhhhh…….” Pekik Lina lirih “
Teerruuuusssss……maaas….. ggennjjot llaggiiii ……..” pinta Lina sambil
merem melek dan wajahnya memerah padam. Tanpa membuang buang waktu om
Edopun langsung memompakan kontol besarnya secara cepat dan bertubi tubi
didalam lubang nonok Lina. “Ughhhh….. ughhhhh….
” Terdengar
rintihan nikmat Lina dipadu dengan bunyi kontol om Edo keluar masuk
nonok Lina yang makin banjir itu. Rupanya om Edo ingin perngentotan ini
cepat selesai maka makin kencanglah kontolnya menyodok nyodok lubang
nonok Lina. Rupanya karena termasuk golongan pemula dalam blantika
perselingkuhan maupun tehnologi persetubuhan, Lina masih bersumbu pendek
dan cepat mencapai puncak birahi karena belum setengah jam, tiba tiba
tubuh Lina mengejang, pinggulnya diangkat tinggi tinggi sembari
tangannya memeluk erat pinggang om Edo maka …… “Maaas… akkuuu …….
nyampeeee…..
“ dan seiring
dengan itu tangannya memeluk makin erat tubuh om Edo seolah tidak mau
lepas lagi. Beberapa saat kemudian barulah dia tergeletak dengan lemas
dibawah tubuh telanjang om Edo. Om Edopun tersenyum sambil melirik
kearahku dan tangan nya mengelus elus rambut Lina. Rupanya Linapun
keenakan diperlakukan demikian.
Cerita Dewasa
Goyangan Maut Dengan lembut ditinggalkannya Lina yang telentang manja
dan langsung menghampiriku. Akupun tahu diri, segera kutelentangkan
diriku, kubuka pahaku lebar lebar sambil kutekuk lututku keatas. Tanpa
basa basi om Edo langsung menyerbu diriku dan memasukkan kontolnya ke
lubang nonokku. Jago benar dia, tusukan kontolnya bisa persis ditengah
tengah lubang nonokku. Tentu saja aku tergelinjang menerima tusukan yang
tiba tiba itu. Dan dengan nafsu yang membara karena sempat tertunda
tadi, maka kulayani om Edo dengan sepenuh keahlianku.
Kuempot empot
kontol om Edo dengan nonokku, dan kugoyang goyang dengan hebat, sehingga
walaupun memakan waktu agak lama dan mengeluarkan suara crot … crot …
crot sekitar setengah jam lebih, maka om Edo dan akupun secara bersamaan
melayang ke langit biru yang diselimuti kenikmatan dan …..”
Ugghhhhh..ughhh….. om, Ines….. mmmau….. nyampee….. ogcchhhhh……..”
“Aakkuuu….. jjuggaa…..mo ngecret, Nes……. aayyoo….bbaarrreeennggggggg…..”
“ukkhhh… acchhhhh….. mmhhhhh…..” dan ……..sshhyyuuuurrrrrrrr…… seperti
semburan Lumpur hangat lapindo di Sidoarjo sana nonokku dan kontol om
Edo secara bersama sama menyemburkan cairan kenikmatan banyak sekali.
Kontol om Edo tetap aku jepit erat erat dengan nonokku sehingga seluruh
pejunya habis tertelan kedalam lubang nonokku. Tubuhku dan tubuh om Edo
berpelukan erat sekali sambil bibir kami berpagutan.
Tentu saja hal
semacam ini belum pernah dialami dan dilihat oleh Lina. Dengan keadaan
terengah engah aku lirik Lina duduk bersimpuh dekat sekali disamping
kami sambil mulutnya ternganga, wajahnya merona merah sambil tanpa sadar
tangannya memijit mijit itilnya sendiri. Rupanya dia amat terangsang
dan ikut terhanyut dengan pemandangan didepan matanya itu. Maka acara
selanjutnya kamipun menceburkan diri ke kolam renang, bercanda sebentar
dan kemudian mandi bertiga di kamar mandi. “Nes ….” Kata Lina tiba tiba
sambil merangkul bahuku dari belakang. Kurasakan kedua pentil Lina
menempel di punggungku. “Hmmh …” sahutku.
“Terus terang
aku tidak tahu harus berterima kasih bagaimana kepadamu. Perngentotan
seperti tadi sama sekali tidak pernah kubayangkan. Bermimpipun tidak
pernah. Aku tidak pernah membayangkan kok perngentotan bisa mendatangkan
kenikmatan yang begitu hebat dalam diriku”. Rupanya Lina itu wanita
yang kesepian, suaminya janrang sekali memberikan nafkah batin karena
sibuk dengan pekerjaannya saja. Bertemu dengan om Edo gak tau dimana,
Linapun membuat fantasi seksnya selama ini menjadi kenyataan. Malah dia
menginginkan ber threesome, itulah sebabnya om Edo mengajakku untuk join
dalam kegilaan ini. Terima kasih Lina.
Sepertinya
semuanya belum puas dengan ngentot yang cuma seronde. Om Edo berbaring
telanjang di kasur angin. Lina segera mengocok-ngocok kontolnya
perlahan. Aku berjongkok di depannya. Lina mulai memasukkan kontol om
Edo ke dalam mulutnya. Kepalanya mulai bergerak naik turun. Pipinya yang
sedikit menonjol disesaki kontol om Edo. Sementara aku menciumi dan
menjilati pahanya menunggu giliran. Sesaat kemudian, Lina mengeluarkan
kontol om Edo dari mulutnya, dan aku langsung meraihnya dengan bernafsu.
Kujilati terlebih dahulu mulai dari kepala sampai ke pangkal batangnya,
dan perlahan aku mulai menghisap kontol om Edo. Om Edo menarik Lina dan
menciuminya.
Linapun
membalas pagutan om Edo. Ciuman dan jilatannya kemudian beralih ke
pentil om Edo, sementara kontolnya masih menjejali mulutku. Segera om
Edo menarik Lina kedalam pelukannya. Om Edo menjilati pentilnya.
“Ahh…ssstt…” erangan nikmat keluar dari mulut Lina. Erangan ini semakin
keras terdengar saat jari om Edo mengusap-usap nonoknya.
“Sebentar ya
Nes..”kata om Edo sambil mencabut kontolnya dari mulutku. Lina
ditariknya sampai berbaring dan om Edo mengarahkan kontolnya ke nonok
Lina. “Pelan-pelan ya mas.” desah Lina perlahan. Kontol om Edo mulai
menerobos nonok Lina. Erangan Lina semakin menjadi. Tangannya tampak
meremas sprei ranjang. Mulutnya setengah terbuka, dan matanya terpenjam.
“Ahhhh…ahhhh” desah Lina saat om Edo mulai menggenjot kontolnya keluar
masuk. Lina mulai menggelinjang merasakan kontol om Edo menghunjam ke
nonoknya sementara aku menonton adegan itu dengan penuh napsu. Om Edo
menghentikan enjotannya dan mengganti posisi, sekarang Lina yang diatas.
Kembali kontol om Edo menerobos nonok Lina. “Ahhhh….” erangnya. Lina
kemudian menggoyang-goyangkan tubuhnya turun naik mengocok kontol om Edo
didalam nonoknya.
Om Edo meraih
aku kedalam pelukannya dan mencium bibirku. Toketku diremasnya dengan
gemas, pentilku mendapat giliran selanjutnya. “Sstttthhhh….sstttt”
erangku saat om Edo menjilati dan dengan gemas mengisap toketku.
Sementara Lina masih menggoyang-goyangkan tubuhnya. Matanya terpejam. Om
Edo memilin-milin pentil Lina sementara aku menjilati pentil om Edo.
“Ahhhhh……” erang Lina panjang saat dia nyampe. Tubuhnya mengejang
beberapa saat, kemudian lunglai di atas tubuh om Edo. Om Edo menciumi
pundak Lina beberapa saat, sebelum digulingkan kesebelahnya.
“Giliranmu
Nes..” katanya. Aku langsung menghentikan hisapanku pada pentilnya, dan
dengan bergairah menggantikan posisi Lina. Aku menaiki tubuhnya dan
kuarahkan kontol om Edo ke nonokku. “Ihhh..gede banget…iihhhh” desahku
saat kontolnya menerobos nonokku. Dengan bernapsu aku
menggoyang-goyangkan tubuhku. Toketku berguncang-guncang saat aku
mengenjotkan pantatku turun naik. Terkadang om Edo menarik tubuhku agar
dia bisa menghisapi pentilku. Bosan dengan posisi ini, om Edo minta aku
menungging sambil memegang tepian bagian kepala ranjang. Disodokkannya
kontolnya kembali ke dalam nonokku. Aku kembali mengerang. “Ihh..ihh..”
desahku saat dienjot dari belakang. Lina tak berkedip melihat aku
dientot secara “doggy-style”. “Sini Lin” om Edo memanggilnya. Saat dia
menghampiri, langsung om Edo kembali menciumi Lina, sementara itu
tangannya memegang pinggangku sambil sesekali menepuk-nepuk pantatku.
“Ihh..ihh.. Ines nyampe om.” erangku saat aku nyampe.
Dia melepaskan
kontolnya dari nonokku. Aku ditelentangkannya dan segera kontolnya
ambles lagi dinonokku. Om Edo dengan penuh napsu mengenjotkan kontolnya
dengan cepat dan keras, keluar masuk menggesek nonokku, sampai akhirnya
dia menjerit keenakan. Terasa ada semburan peju hangat didalam nonokku.
Diapun terkulai. “Om mainnya hebat banget …” kata Lina sambil tersenyum.
“Iya..kita berdua aja dibuat kewalahan…”sahutku sambil mengusap-usap
dadanya. “Habis kalian cantik-cantik sih. Jadi nafsu nih” jawabnya.
“Kita sih puas banget deh dientot mas, lemes tapi nikmaat banget, ya
Nes” kata Lina. “Yang gemesin ini lho..gede banget ukurannya” kataku
sambil mulai mengusap-usap kontolnya. “Iya.Rahasianya apa sih om?”
TKurasakan kontolnya mulai mengeras lagi, luar biasa.
“Mas, buat
kenang-kenangan Lina video ya..” ujar Lina tiba-tiba, sambil bangkit
mengambil HPnya. “Jangan ah. Udah nggak usah” om Edo menolak. “Ah..nggak
apa mas. Habis kontolnya gemesin banget deh..Lina nggak ambil mukanya
kok..” sahutnya. “Awas, bener ya. Jangan kelihatan mukanya lho” kata om
Edo lagi. “Mas berdiri di sini aja biar lebih jelas. Terus kamu isepin
Nes.. Ntar gantian” kata Lina. Om Edo bangkit dan berdiri di samping
ranjang. Aku kemudian berjongkok di depannya, dan mulai menjilati
kontolnya. “Rambut kamu Nes..jangan nutupin” kata Lina sambil mulai
merekam adegan itu. Om Edo membantu aku menyibakkan rambutku dan aku
mulai mengulum kontolnya sambil mengelus-elus biji pelernya.
Lina merekam
adegan itu dengan antusias. Om Edo mengerang nikmat, sambil membantu
menyibakkan rambutku. Cukup lama aku mengemut kontolnya. Sementara
tampak Lina sangat terangsang melihat aku menikmati kontol om Edo.
“Nes..gantian dong..” katanya beberapa saat kemudian. Hpnya diserahkan
ke aku, dan gantian Lina sekarang yang berjongkok di depan om Edo.
Disibakkannya rambutnya kesamping agar aku dapat merekam adegan dengan
jelas. Dijilatinya perlahan seluruh kontol om Edo. Lubang kencingnya
digelitik dengan lidahnya, kemudian mulutnya mulai mengulum perlahan
kontol om Edo. “Jangan pakai tangan Lin..” kataku yang sedang merekam
adegan itu.
Lina kemudian
melepas tangannya yang memegang kontol om Edo, dan ia memaju mundurkan
kepalanya. Sesaat kemudian dia mengeluarkan kontol dari mulutnya dan,
tetap dengan tanpa memegang kontol, Lina menjilatinya sambil bergumam
gemas. Kemudian dihisapnya kembali kontol om Edo dengan bernafsu.
Diperlakukan seperti itu, om Edo gak tahan lagi. “Arrghh.. hampir
ngecret nih..” erangnya.”Om yang ambil ya..” kataku sambil menyerahkan
hp padanya. Aku kemudian berjongkok bersama dengan Lina. Kontol itu
kukocok-kocoknya. Om Edo tidak tahan lagi. Sambil merekam adegan, dia
ngecret membasahi muka kami. Setelah beristirahat sejenak, om Edo
meminta hp Lina. Dia ingin memastikan wajahnya tidak terlihat di rekaman
video yang tadi diambil. Kemudian mereka berdua masuk kedalam, aku
masih berbaring di kasur, tak lama kemudian aku ketiduran. Hari sudah
gelap.
Aku terbangun
karena ada mencium bibirku. Om Edo duduk dikasur, aku ditariknya duduk
disebelahnya. Napsuku bangkit dengan sendirinya. Segera tanpa
membuang-buang waktu lagi om Edo menyambar tubuhku. Dilumatnya bibirku
dan tangannya beraksi meremas toketku. “Hhhmm..gimana Nes? Udah siap
dientot lagi?” “Lina kemana om?’ “Lagi tiduran dikamar, aku pengen
ngentotin kamu sendirian deh Nes”. Kurasakan hembusan nafasnya di
telingaku. Tangan gempalnya mulai meremasi toketku, sementara tangan
yang lainnya mulai mengelus-elus pahaku. Aku hanya bisa menikmati
perlakuannya dengan jantung berdebar-debar.
Tangan yang
satunya juga sudah mulai naik ke bagian selangkangan lalu dia
menggesekkan jarinya pada daerah itilku. Toketku diremas, dibelai, dan
dipelintir pentilnya, sambil tangan satunya tetep menggesek itilku. Aku
melenguh kenikmatan. Tiba2 dia mendorongku telentang dikasur,
dibentangkannya pahaku lebar-lebar, tangannya mulai merayap ke bagian
selangkanganku. Jari-jarinya mengusap-ngusap bagian permukaannya saja
lalu mulai bergerak perlahan-lahan diantara kerimbunan jembutku, jarinya
mencari liang nonokku. Perasaan nikmat begitu menyelubungiku karena
hampir semua daerah sensitifku diserang olehnya dengan sapuan lidahnya
pada leherku, remasan pada toketku, dan permainan jarinya pada nonokku,
serangan-serangan itu sungguh membuatku terbuai. Kedua mataku terpejam
sambil mulutku mengeluarkan desahan-desahan “Eeemmhh..uuhh”.
Kontol besarnya
sudah mengeras dan mengacung siap memulai aksinya. Aku terbelalak
memandang kontol hitam itu, panjangnya memang termasuk ukuran rata-rata,
namun diameternya itu cukup lebar, dipenuhi dengan urat-urat yang
menonjol. Dengan lembut dibelainya pipiku, lalu belaian itu
perlahan-lahan turun ke bahuku. Direngkuhnya aku dalam pelukannya.
Tangannya bergerak menjelajahi tubuhku. Dia mengencangkan remasan pada
toketku kananku sehingga aku merintih kesakitan “Aaakkhh..sakit om!”.
Dia hanya
tertawa terkekeh-kekeh melihat reaksiku. “Uuuhh..sakit ya Nes, mana yang
sakit..sini om liat” katanya sambil mengusap-usap toketkuku yang
memerah akibat remasannya. Dia lalu melumat toketkuku sementara tangan
satunya meremas-remas toketku yang lain. Perlahan-lahan akupun sudah
mulai merasakan enaknya. Tubuhku menggelinjang disertai suara desahan
saat tangannya mengorek-ngorek liang nonokku sambil mulutnya terus
melumat toketku, terasa pentilku disedot-sedot olehnya, kadang juga
digigit pelan atau dijilat-jilat. Kini mulutnya mulai naik, jilatan itu
mulai kurasakan pada leherku hingga akhirnya bertemulah bibirku dengan
bibirnya yang tebal itu. Naluri sexku membuatku lupa akan segalanya,
lidahku malah ikut bermain dengan liar dengan lidahnya sampai ludah kami
bertukar dan menetes-netes sekitar bibir.
Om Edo lalu
berlutut sehingga kontolnya kini tepat dihadapanku yang sedang telentang
dikasur. Dia menggosokkan kontolnya pada wajahku. Aku mulai menjilati
kontol hitam itu mulai dari kepalanya sampai biji pelernynya, semua
kujilati sampai basah oleh liurku. Semakin lama aku semakim bersemangat
melakukan oral sex itu. Kukeluarkan semua teknik menyepong-ku sampai dia
mendesah nikmat. Saking asiknya aku baru sadar bahwa posisi kami telah
berubah menjadi gaya 69 saat kurasakan benda basah menggelitik itilku.
Dia kini berada di bawahku dan menjilati belahan nonokku, bukan cuma itu
dia juga mencucuk-cucukan jarinya ke dalamnya sehingga nonokku makin
lama makin basah saja.
Aku disibukkan
dengan kontolnya di mulutku sambil sesekali mengeluarkan desahan. Aku
sungguh tidak berdaya oleh permainan lidah serta jarinya pada nonokku,
tubuhku mengejang dan cairan nonokku menyembur dengan derasnya, aku
telah dibuatnya nyampe. Tubuhku lemas diatas tubuh nya dan tangan
kananku tetap menggenggam batang kontolnya.
Setelah puas
menegak cairan nonokku, dia bangkit berdiri di kasur. Tangan kokohnya
memegang kedua pergelangan kakiku lalu membentangkan pahaku lebar-lebar
sampai pinggulku sedikit terangkat. Dia sudah dalam posisi siap menusuk,
ditekannya kepala kontolnya pada nonokku yang sudah licin, kemudian
dipompanya sambil membentangkan pahaku lebih lebar lagi. Kontol yang
gemuk itu masuk ke nonokku yang cukup sempit. Dia terus menjejalkan
kontolnya lebih dalam lagi sampai akhirnya seluruh kontol itu tertancap.
“Ooohh..nonok kamu lebih peret dari nonok Lina, Nes, nikmat banget
deh”. Aku senang juga mendengar pujiannya. “Ines juga nikmat om, kontol
om gede banget”. “Kamu belum pernah ngerasain kontol gede ya Nes”.
“Yang gede
sering om, tapi yang segede kontol om baru kali ini, enjot terus om,
nikmaaat”. Puas menikmati jepitan dinding nonokku, pelan-pelan dia mulai
menggenjotku, maju mundur terkadang diputar. Kurasakan semakin lama
pompaannya semakin cepat sehingga aku tidak kuasa menahan desahan,
sesekali aku menggigiti jariku menahan nikmat, serta
menggeleng-gelengkan kepalaku ke kiri-kanan sehingga rambut panjangku
pun ikut tergerai kesana kemari. Tampangku yang sudah semrawut itu
nampaknya makin membangkitkan napsunya, dia menggenjotku dengan lebih
bertenaga, bahkan disertai sodokan-sodokan keras yang membuatku makin
histeris. Kemudian tangan kanannya maju menangkap toketku yang
tergoncang-goncang. Hal ini memberi perasaan nikmat ke seluruh tubuhku.
Setengah
permainan, dia mengganti posisi. Aku disuruhnya nungging di dipan. Dari
belakang dia sedang mengagumi tubuhku dan mengelus-ngelusnya. “Nah, ini
baru namanya pantat” dia meremas bongkahan pantatku dengan gemas dan
menepuknya. Saat dia mulai mengelus nonokku tanpa sadar aku malah
merenggangkan kakiku sehingga dia makin leluasa merambahi daerah itu.
Dia mulai mempersiapkan kembali kontolnya dengan menggosok-gosokkan pada
bibir nonok dan pantatku. Kemudian dia menyelipkan kontolnya di antara
selangkanganku lewat belakang. Aku mendesis nikmat saat kontol itu
pelan-pelan memasuki nonokku. Kakiku mengejang ketika menerima sodokan
pertamanya yang dilanjutkan dengan sodokan-sodokan berikutnya.
Mulutku
mengap-mengap mengeluarkan merintih terlebih ketika tangannya
meremas-remas kedua toketku sambil sesekali dipermainkannya pentilku
yang sudah mengeras. “Ooohh.. enak banget deh ngentotin kamu Nes!”
celotehnya. Tusukan-tusukan itu seolah merobek tubuhku, hingga 15 menit
kemudian tubuhku bagaikan kesetrum dan mengucurlah cairan dari nonokku
dengan deras sampai membasahi pahaku. Aku merintih panjang sampai
tubuhku melemas kembali, kepalaku jatuh tertunduk, nafasku masih kacau
setelah nyampe sekali lagi. Aku mengira dia juga akan segera
mengecretkan pejunya, ternyata perkiraanku salah, dia masih dengan ganas
mengenjotku tanpa memberi waktu istirahat.
Rambut
panjangku ditariknya sehingga kepalaku terangkat. Sudah cukup lama aku
digenjotnya namun belum terlihat tanda-tanda akan ngecret. Variasi
gerakannya sangat lihai sampai membuatku berkelejotan, juga staminanya
itu sungguh diluar dugaan. Mendadak dia menarik lepas kontolnya, aku
sudah siap menerima semprotan pejunya, namun ternyata kontol itu masih
mengacung dengan gagahnya.
Om Edo lalu
duduk, “Sini Nes, om pangku!” suruhnya. Aku menurut saja dan tanpa
diminta lagi aku naik ke pangkuannya, aku menuntun kontolnya memasuki
nonokkku. Begitu kuturunkan pantatku langsung aku bergoyang di
pangkuannya, dia pun membalas gerakkanku dengan menaik turunkan
pantatnya berlawanan denganku sehingga tusukannya makin dalam. Wajahnya
dibenamkan pada belahan toketku, tangannya yang tadi mengelus-ngelus
punggungku mulai meraba toketku, mulutnya menangkap toketku yang satu
lagi.
Toketku disedot
dan dikulumnya, kumisnya yang terkadang menyapu permukaan toketku
memberi rasa geli dan sensasi yang khas. Kunaik-turunkan tubuhku dengan
gencar sampai dia melenguh-lenguh keenakan, “Uuugghh..nonok kamu enak
banget, Nes”. esahanku bercampur baur dengan lenguhannya. Kepalaku
tengadah disertai lolongan panjang dari mulutku saat aku nyampe lagi,
cairan nonokku kembali tercurah sampai membasahi dipan, secara refleks
aku juga mempererat rangkulanku hingga wajahnya makin terbenam pada
toketku. “Om, kuat banget sih ngentotnya, Ines dah beberapa kali nyampe,
om belum ngecret juga, lemes om”. “Tapi nikmat kan?”
Kemudian dia
melepaskan kontolnya dan menyuruhku berlutut di hadapannya, diraihnya
kepalaku dan didekatkan pada kontolnya yang lalu kujilati dan kusedot,
rasanya sudah bercampur dengan cairan nonokku. Ketika tanganku sedang
mengocok sambil menjilatinya tiba-tiba dia melenguh panjang dengan wajah
mendongak ke atas, “Nes, aku mau ngecret, di nonok kamu ya”. Segera aku
dibaringkan didipan, dia menaiki aku dan sekali enjot kontol besarnya
langsung ambles semuanya di nonokku. Dienjotkannya kontolnya keluar msuk
dengan cepat dan akhirnya, “Ooohh..Nes, aku ngecret” dan disusul
‘creett..creet..’ pejunya menyemprot dengan deras didalam nonokku,
terasa sekali semburan kuatnya menghangati bagian dalem nonokku.
Demikian lelahnya aku, sampai tubuh seperti lumpuh dan mata terasa makin
berat. Sebelum kembali terlelap aku masih sempat mendengarnya berkata
dekat kupingku “nonok kamu enak banget, aku jadi ketagihan nih!”
Nikmatnya suara desahan mantan kekasihku
Waktu
Sepulang sekolah kurasakan suasana yang sepi di rumahku.Satu persatu
nomor telepon teman kusambung dan tiada yang ada di rumah. Sesaat kucoba
telepon mantan pacarku, ternyata ada, dan kucoba satunya lagi dan
ternyata juga ada. Kuajak mereka janjian ke rumahku.
Sejam telah berlalu. Mereka berdua akhirnya datang. Suasana sepi rumah hilang. Akhirnya kami saling bercanda. Rian dan Anto adalah mantanku dan kami awalnya teman yang cukup akrab dan suka berkumpul bersama. Sebenarnya masih ada perasaan suka di hatiku terhadap mereka. Rasanya kurindu akan suasana dulu. Kami mulai bercanda dan duduk bersamaan. Rian memang mantanku yang agresif. Terkadang ia memegang tanganku dan juga merangkulku. Anto melihat reaksi Rian tampaknya ia tak mau kalah. Hal yang sama pun ia lakukan.
Sejam telah berlalu. Mereka berdua akhirnya datang. Suasana sepi rumah hilang. Akhirnya kami saling bercanda. Rian dan Anto adalah mantanku dan kami awalnya teman yang cukup akrab dan suka berkumpul bersama. Sebenarnya masih ada perasaan suka di hatiku terhadap mereka. Rasanya kurindu akan suasana dulu. Kami mulai bercanda dan duduk bersamaan. Rian memang mantanku yang agresif. Terkadang ia memegang tanganku dan juga merangkulku. Anto melihat reaksi Rian tampaknya ia tak mau kalah. Hal yang sama pun ia lakukan.
Mungkin karena
mereka mantanku maka aku tidak canggung. Sebenarnya aku menyukai
sentuhan-sentuhan mereka. Tahap demi tahap kejadian pun terlewati.
Kadang aku dipeluk Rian dan kadang aku dipelukan Anto. Aku pun tak mau
kalah, kebetulan Anto saat itu diam dan kupeluk ia dari belakang. "Rin,
itu kamu empuk ya," sahut Anto sambil menggoyangkan punggungnya yang
tertempel dadaku sehingga bergesekan. Kurasakan nyilu dan nikmat di
putingku, dan membuatku terdiam sesaat. Kemudian,
"Masa, sori Nto.. tapi enak ya," ucapku sambil bercanda.
"Kayak gitu nggak enak, yang enak kayak ini," perlahan Rian menarikku dan perlahan kulepaskan Anto.
Rian memelukku, tangannya kurasakan menyentuh dadaku dan mengusap-usapnya lalu meremas-remas.
Sesaat kuterdiam menahan nafas dan agak terkaget dengan sentuhan Rian. Kurasakan putingku mengeras dan menegang membuat aliran darahku terangsang keseluruh tubuh. Rasanya nyilu dan nikmat membuat seluruh tubuhku merinding dan lemas. Perlahan mengalir ketonjolan didekat saluran kencingku. Kemudian kurasakan bibir vagina dan anusku berdenyut-denyut. Kusadari aku terangsang. Untung Rian tak menyentuh selangkanganku. "Udah yan, lepasin tangannya dong!" ucapku sambil kedua tanganku melepaskan kedua tangan Rian dari dadaku. Walaupun sebenarnya kusuka, tapi kutolak karena aku terangsang. Kurasakan sebuah bibir mencium kupingku. Mataku melirik ke arah wajah tersebut dan kulihat sekilas wajah Anto. Sesaat kuterdiam kembali. Nikmat di dalam darahku mengalir kembali. Bibir Anto kemudian melumat daun telingaku. Kurasakan nikmat dan lembut mulut Anto dan membuatku tidak dapat mengelak dan menolak. Perlahan lidah Anto menjulur masuk ke lubang telingaku. "Aaahh.." hanya itu yang bisa kuucapkan. Daguku terangkat tinggi. Kurasakan putingku mengeras dan menegang menjadi sensitif. Kurasakan nyilu dan nikmat di putingku.
Tampaknya Rian tak mau kalah. Segera tangannya meremas-remas dadaku. Perlahan kurasakan mulut Rian melumat bibirku. Lidahnya menjilati semua yang ada di mulutku. Aku hanya bisa terdiam tak bergerak, kurasakan pikiranku melayang jauh. Birahiku mengalir di dalam darahku. Tubuhku semakin sensitif dan haus akan sentuhan. Terlintas di pikiranku berharap mendapatkan yang lebih lagi. Kurasakan buaian tangan Anto di pahaku sehingga membuat daerah sensitif di selangkanganku semakin menjadi. Kurasakan rokku perlahan diangkat Anto. Tangannya mengelus-elus pahaku dari daerah paha luar, dalam dan sampai di belahan selangkanganku.
Terlintas di pikiranku bahaya bila pembantuku melihat kejadian ini. Perlahan kulepaskan bibirku dari bibir Rian. Dengan suara yang tegang dan gemetar akhirnya dapat kuucapkan,
"Udah dong..! Jangan ya, nanti pembantuku ngeliat."
Akhirnya mereka berhenti.
"Sorry ya Rin, aku kangen ama kamu," ucap Anto.
"Aku juga, maaf ya.. abis tubuh kamu bagus nggak kayak pacar gua sekarang," sahut Rian sambil salah satu tangannya mengelus dadaku.
"Nggak apa-apa aku juga, kita ke atas yuk!" ucapku.
Lalu kami bergegas pindah ke atas.
Selesai naik tangga ternyata Rian langsung memelukku sambil berjalan. Kedua tangannya menggerayangi buah dadaku. Kurasakan putingku menegang nyilu yang nikmat. Birahi mengalir dalam darahku membuatku terangsang. Kemudian kami bertiga duduk. Dan tak lama kemudian tubuhku kali ini dirangkul oleh Anto. Tangannya mengelus dan meraba pahaku, kemudian perlahan menyusup di rokku. Tak lama kemudian celana dalamku yang membentuk belahan kemaluanku terlihat jelas. Tangannya bergerak dari bagian paha luar, dalam, dan selangkanganku. Terasa bibir vaginaku berdenyut dan sensitif. Sebenarnya tanpa mereka sadari aku sedang menikmati kejadian ini dan aku terangsang. Aku berusaha menyembunyikan perasaan ini.
"Rina.. Paha kamu mulus.. putih.. kulit kamu lembut ya," sahut Anto dengan kedua tangan yang menikmati tubuhku. Sesaat kemudian kurasakan tangan Rian mendekap salah satu buah dadaku yang sedang terangsang. Sesaat nafasku tertahan kemudian batinku terdiam. Kurasakan nikmat di dadaku. Putingku sedang dialiri darah birahi. Perlahan daguku terangkat tinggi. Akhirnya nafasku berburu.
Tampaknya Rian dan Anto tahu bila aku terangsang. Tanpa basa basi lagi mereka melakukan permainan selanjutnya. Perlahan tangan Rian yang mendekap dadaku turun dan menyusup kaosku. Kurasakan tangan Rian menyentuh kulit perutku dan menyusup sampai mendekap dadaku yang tertutup BH dan kemudian meremas-remas. Daguku terangkat tinggi. Kemudian bibir Rian kurasakan mengecup dan mencuimi leherku. Mataku terpejam dan kugigit lembut bibir bawahku.
"Oouuhh.." dengan pelan desahan itu keluar dari mulutku. Semakin kukeluarkan suara dari mulut maka semakin mereka menjadi. Kurasakan tali BH-ku terlepas dan BH-ku mengendor. Entah siapa yang melakukannya. Kurasakan tangan Rian mendekap dadaku secara langsung. "Aahh," kurasakan. Dadaku diremas-remas lagi dan kemudian kedua putingku dimainkan oleh Rian. Nikmatnya!
Perlahan BH dan kaosku diangkat. Udara pun menyentuh putingku langsung dan merangsang tubuhku. Celana dalamku dibuka Anto. Kaos dan BH-ku dilepas Rian. Rokku tidak ketinggalan. Pakaian yang menyelimuti tubuhku berserakan entah berada dimana.
Akhirnya tiada sehelai kainpun di tubuh ini. Semakin tubuhku polos semakin buaian udara merangsang tubuhku. Rasanya tubuh ini ingin dinikmati. Perlahan tangan Anto membuat kakiku mengangkang lebar. Rasanya buaian angin merangsang paha dalam dan daerah kemaluanku dan membuatku berharap untuk mendapatkan kenikmatan. Kurasakan bibir Anto menyentuh dan mengecup bibir vaginaku. Daguku terus terangkat tinggi dan dadaku reflek membusung seakan menyodorkan diri. Kurasakan seperti ada setrum yang mengalir dari bibir vagina ke seluruh tubuh.
"Oouuhh.." dengan panjang kuucapkan. Kurasakan tangan Rian meremas dadaku dan memainkan putingku. Ah, dua titik sensitifku terangsang. Dengan reflek dadaku kubusungkan sesampai-sampainya. Tampaknya Rian tidak diam melihatku begini. Segera ia menghisap salah satu putingku lagi. Ah, sekarang ketiga titik sensitifku terangsang. Kurasakan jari-jari Anto perlahan masuk ke liang vaginaku. Lalu keluar lagi dan akhirnya keluar masuk dengan cepat dan serakah. Kurasakan birahiku melayang dan terangsang membuatku pasrah dan menikmati cara mereka yang sedang menikmati tubuhku. Kuarasakan kemaluanku basah. Anusku juga terkena air yang mengalir. Tampaknya Anto mengetahui hal ini. Perlahan salah satu jarinya masuk ke anusku. Semakin lama anusku licin dan jari Anto dapat keluar masuk mudah. Akhirnya jari-jari Anto keluar masuk dikedua liang tubuhku. Nikmat kurasakan dan entah mengapa semakin kusodorkan kedua liangku ke arahnya. Bibir Anto menikmati daerah pinggang dan perutku. Aah, seperti listrik mengalir dalam darahku dan juga daerah daerah tubuhku yang mereka sentuh.
Akhirnya kuterbaring dan kulihat Anto melepaskan celananya. Kulihat miliknya terhunus dan ia tujukan ke liang vaginaku. Kurasakan sentuhan miliknya di bibir vaginaku. Perlahan-lahan masuk. Dagu dan dadaku terangkat tinggi. "Aaahh.." kuucapkan sambil akhirnya milik Anto menancap dalam di liang vaginaku. Kemudian ia keluar-masukkan. Kurasakan gesekan milik Anto keluar masuk. Nikmat rasanya sampai-sampai anusku berdenyut-denyut. Mataku setengah terpejam dan kadang-kadang tubuhku goyang karena tak tahan merasakan nikmat. Sekilas terlihat Rian melepaskan celananya. Kulihat miliknya lalu ia tempelkan ke mulutku. Kurasakan di bibirku dan tampaknya aku menyukainya. Perlahan miliknya dimasukkan ke dalam mulutku. Entah mengapa mulutku terangsang. Lalu kudekap milik Rian dengan tanganku. Kuayun-ayunkan dan kuhisap dengan mulutku. Kurasakan seluk beluknya dan kunikmati dengan lidah dan mulutku. Kujilat, kuhisap, kutelan dan seterusnya.
Beberapa saat kemudian kurubah posisiku jadi mengungging. Dengan begini mulutku dapat menikmati milik Rian yang terhunus. Perlahan kurasakan kenikmatan yang berbeda. Milik Anto perlahan ia cabut dari liang vaginaku dan kemudian ia hunuskan ke anusku yang kurasakan berdenyut-denyut nikmat. Perlahan ia masukkan ke anusku yang sudah terangsang, basah dan longgar karena jemarinya. Akhirnya tertancap dalam dan ia keluar masukkan dengan pelan. Karena sudah licin maka ia keluar-masukkan dengan cepat dan akhirnya menyembur cairan di liang anusku.
"Ouuhh.." kuucapkan sambil menikmati semburan yang Anto keluarkan. Setelah itu Anto mendiamkan miliknya diam tertancap. Sesaat kemudian ia mainkan lagi. Anusku sangat licin karena cairannya. Kadang ia keluarkan dulu dan kemudian dia tancapkan lagi. Tampaknya ia sengaja. Karena setiap tancapan aku mendesah karena merasakan nikmat.
Beberapa saat kemudian kurasakan banyak cairan yang menyembur dari milik Rian. Karena kubenar-benar terangsang maka kurasakan nikmat. Lalu kutelan dan entah mengapa malah membuatku tambah terangsang. Setelah habis kulepaskan hisapanku. Rian terdiam. Anto menarik pundakku. Sehingga ia dapat memelukku dari belakang. Tangannya meraba-raba dadaku.
Kurasakan ia berdiri dan aku tergantung di miliknya yang menancap. Kulihat Rian menghampiriku lagi. Kurasakan miliknya ia tancapkan ke liang vaginaku. Ah, aku diapit. Kurasakan kedua liangku mereka masuki. Dan akhirnya kami sama-sama sampai puncak dan puas.
Suasana rumah yang sepi sangat merangsang kami. Kemudian aku ajak mereka ke kamarku. Di sana tubuhku mereka nikmati lagi dan lagi. Aku pun menikmatinya juga. Karena gairah kami yang tinggi maka kami lakukan berulang-ulang. Sampai disaat kuhisap milik mereka dan tiada cairan yang mereka keluarkan di mulutku dan liangku. Kurasakan tak ada semburan.
Karena sudah malam akhirnya kami jalan keluar bertiga. Kami jalan-jalan dengan mobilku yang kaca filmnya hampir 100%. Kami main di utara Jakarta. Kemudian kami buat mobil goyang sampai jam 04:00 pagi. Tentu kami melakukan istirahat. Dan kami keluar dan balik jam 04:00 lebih. Tampaknya gairah seumur kami memang fit. Anto dan Rian bergiliran menyetir. Dan diperjalanan tiada sehelai kainpun di tubuhku. Kondisi kaca mobil yang memungkinkan sehingga selepas dari mojok aku pun masih bercinta dengan mereka. Sampai-sampai penjaga karcis pun tidak melihat tubuh polosku. Diperjalanan aku duduk di belakang dan mereka bergiliran bercinta denganku. Mungkin karena tubuhku yang lebih unggul dari cewek-cewek lain jadi mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan yang jarang ini. Dan mereka terus menikmati tubuhku.
"Masa, sori Nto.. tapi enak ya," ucapku sambil bercanda.
"Kayak gitu nggak enak, yang enak kayak ini," perlahan Rian menarikku dan perlahan kulepaskan Anto.
Rian memelukku, tangannya kurasakan menyentuh dadaku dan mengusap-usapnya lalu meremas-remas.
Sesaat kuterdiam menahan nafas dan agak terkaget dengan sentuhan Rian. Kurasakan putingku mengeras dan menegang membuat aliran darahku terangsang keseluruh tubuh. Rasanya nyilu dan nikmat membuat seluruh tubuhku merinding dan lemas. Perlahan mengalir ketonjolan didekat saluran kencingku. Kemudian kurasakan bibir vagina dan anusku berdenyut-denyut. Kusadari aku terangsang. Untung Rian tak menyentuh selangkanganku. "Udah yan, lepasin tangannya dong!" ucapku sambil kedua tanganku melepaskan kedua tangan Rian dari dadaku. Walaupun sebenarnya kusuka, tapi kutolak karena aku terangsang. Kurasakan sebuah bibir mencium kupingku. Mataku melirik ke arah wajah tersebut dan kulihat sekilas wajah Anto. Sesaat kuterdiam kembali. Nikmat di dalam darahku mengalir kembali. Bibir Anto kemudian melumat daun telingaku. Kurasakan nikmat dan lembut mulut Anto dan membuatku tidak dapat mengelak dan menolak. Perlahan lidah Anto menjulur masuk ke lubang telingaku. "Aaahh.." hanya itu yang bisa kuucapkan. Daguku terangkat tinggi. Kurasakan putingku mengeras dan menegang menjadi sensitif. Kurasakan nyilu dan nikmat di putingku.
Tampaknya Rian tak mau kalah. Segera tangannya meremas-remas dadaku. Perlahan kurasakan mulut Rian melumat bibirku. Lidahnya menjilati semua yang ada di mulutku. Aku hanya bisa terdiam tak bergerak, kurasakan pikiranku melayang jauh. Birahiku mengalir di dalam darahku. Tubuhku semakin sensitif dan haus akan sentuhan. Terlintas di pikiranku berharap mendapatkan yang lebih lagi. Kurasakan buaian tangan Anto di pahaku sehingga membuat daerah sensitif di selangkanganku semakin menjadi. Kurasakan rokku perlahan diangkat Anto. Tangannya mengelus-elus pahaku dari daerah paha luar, dalam dan sampai di belahan selangkanganku.
Terlintas di pikiranku bahaya bila pembantuku melihat kejadian ini. Perlahan kulepaskan bibirku dari bibir Rian. Dengan suara yang tegang dan gemetar akhirnya dapat kuucapkan,
"Udah dong..! Jangan ya, nanti pembantuku ngeliat."
Akhirnya mereka berhenti.
"Sorry ya Rin, aku kangen ama kamu," ucap Anto.
"Aku juga, maaf ya.. abis tubuh kamu bagus nggak kayak pacar gua sekarang," sahut Rian sambil salah satu tangannya mengelus dadaku.
"Nggak apa-apa aku juga, kita ke atas yuk!" ucapku.
Lalu kami bergegas pindah ke atas.
Selesai naik tangga ternyata Rian langsung memelukku sambil berjalan. Kedua tangannya menggerayangi buah dadaku. Kurasakan putingku menegang nyilu yang nikmat. Birahi mengalir dalam darahku membuatku terangsang. Kemudian kami bertiga duduk. Dan tak lama kemudian tubuhku kali ini dirangkul oleh Anto. Tangannya mengelus dan meraba pahaku, kemudian perlahan menyusup di rokku. Tak lama kemudian celana dalamku yang membentuk belahan kemaluanku terlihat jelas. Tangannya bergerak dari bagian paha luar, dalam, dan selangkanganku. Terasa bibir vaginaku berdenyut dan sensitif. Sebenarnya tanpa mereka sadari aku sedang menikmati kejadian ini dan aku terangsang. Aku berusaha menyembunyikan perasaan ini.
"Rina.. Paha kamu mulus.. putih.. kulit kamu lembut ya," sahut Anto dengan kedua tangan yang menikmati tubuhku. Sesaat kemudian kurasakan tangan Rian mendekap salah satu buah dadaku yang sedang terangsang. Sesaat nafasku tertahan kemudian batinku terdiam. Kurasakan nikmat di dadaku. Putingku sedang dialiri darah birahi. Perlahan daguku terangkat tinggi. Akhirnya nafasku berburu.
Tampaknya Rian dan Anto tahu bila aku terangsang. Tanpa basa basi lagi mereka melakukan permainan selanjutnya. Perlahan tangan Rian yang mendekap dadaku turun dan menyusup kaosku. Kurasakan tangan Rian menyentuh kulit perutku dan menyusup sampai mendekap dadaku yang tertutup BH dan kemudian meremas-remas. Daguku terangkat tinggi. Kemudian bibir Rian kurasakan mengecup dan mencuimi leherku. Mataku terpejam dan kugigit lembut bibir bawahku.
"Oouuhh.." dengan pelan desahan itu keluar dari mulutku. Semakin kukeluarkan suara dari mulut maka semakin mereka menjadi. Kurasakan tali BH-ku terlepas dan BH-ku mengendor. Entah siapa yang melakukannya. Kurasakan tangan Rian mendekap dadaku secara langsung. "Aahh," kurasakan. Dadaku diremas-remas lagi dan kemudian kedua putingku dimainkan oleh Rian. Nikmatnya!
Perlahan BH dan kaosku diangkat. Udara pun menyentuh putingku langsung dan merangsang tubuhku. Celana dalamku dibuka Anto. Kaos dan BH-ku dilepas Rian. Rokku tidak ketinggalan. Pakaian yang menyelimuti tubuhku berserakan entah berada dimana.
Akhirnya tiada sehelai kainpun di tubuh ini. Semakin tubuhku polos semakin buaian udara merangsang tubuhku. Rasanya tubuh ini ingin dinikmati. Perlahan tangan Anto membuat kakiku mengangkang lebar. Rasanya buaian angin merangsang paha dalam dan daerah kemaluanku dan membuatku berharap untuk mendapatkan kenikmatan. Kurasakan bibir Anto menyentuh dan mengecup bibir vaginaku. Daguku terus terangkat tinggi dan dadaku reflek membusung seakan menyodorkan diri. Kurasakan seperti ada setrum yang mengalir dari bibir vagina ke seluruh tubuh.
"Oouuhh.." dengan panjang kuucapkan. Kurasakan tangan Rian meremas dadaku dan memainkan putingku. Ah, dua titik sensitifku terangsang. Dengan reflek dadaku kubusungkan sesampai-sampainya. Tampaknya Rian tidak diam melihatku begini. Segera ia menghisap salah satu putingku lagi. Ah, sekarang ketiga titik sensitifku terangsang. Kurasakan jari-jari Anto perlahan masuk ke liang vaginaku. Lalu keluar lagi dan akhirnya keluar masuk dengan cepat dan serakah. Kurasakan birahiku melayang dan terangsang membuatku pasrah dan menikmati cara mereka yang sedang menikmati tubuhku. Kuarasakan kemaluanku basah. Anusku juga terkena air yang mengalir. Tampaknya Anto mengetahui hal ini. Perlahan salah satu jarinya masuk ke anusku. Semakin lama anusku licin dan jari Anto dapat keluar masuk mudah. Akhirnya jari-jari Anto keluar masuk dikedua liang tubuhku. Nikmat kurasakan dan entah mengapa semakin kusodorkan kedua liangku ke arahnya. Bibir Anto menikmati daerah pinggang dan perutku. Aah, seperti listrik mengalir dalam darahku dan juga daerah daerah tubuhku yang mereka sentuh.
Akhirnya kuterbaring dan kulihat Anto melepaskan celananya. Kulihat miliknya terhunus dan ia tujukan ke liang vaginaku. Kurasakan sentuhan miliknya di bibir vaginaku. Perlahan-lahan masuk. Dagu dan dadaku terangkat tinggi. "Aaahh.." kuucapkan sambil akhirnya milik Anto menancap dalam di liang vaginaku. Kemudian ia keluar-masukkan. Kurasakan gesekan milik Anto keluar masuk. Nikmat rasanya sampai-sampai anusku berdenyut-denyut. Mataku setengah terpejam dan kadang-kadang tubuhku goyang karena tak tahan merasakan nikmat. Sekilas terlihat Rian melepaskan celananya. Kulihat miliknya lalu ia tempelkan ke mulutku. Kurasakan di bibirku dan tampaknya aku menyukainya. Perlahan miliknya dimasukkan ke dalam mulutku. Entah mengapa mulutku terangsang. Lalu kudekap milik Rian dengan tanganku. Kuayun-ayunkan dan kuhisap dengan mulutku. Kurasakan seluk beluknya dan kunikmati dengan lidah dan mulutku. Kujilat, kuhisap, kutelan dan seterusnya.
Beberapa saat kemudian kurubah posisiku jadi mengungging. Dengan begini mulutku dapat menikmati milik Rian yang terhunus. Perlahan kurasakan kenikmatan yang berbeda. Milik Anto perlahan ia cabut dari liang vaginaku dan kemudian ia hunuskan ke anusku yang kurasakan berdenyut-denyut nikmat. Perlahan ia masukkan ke anusku yang sudah terangsang, basah dan longgar karena jemarinya. Akhirnya tertancap dalam dan ia keluar masukkan dengan pelan. Karena sudah licin maka ia keluar-masukkan dengan cepat dan akhirnya menyembur cairan di liang anusku.
"Ouuhh.." kuucapkan sambil menikmati semburan yang Anto keluarkan. Setelah itu Anto mendiamkan miliknya diam tertancap. Sesaat kemudian ia mainkan lagi. Anusku sangat licin karena cairannya. Kadang ia keluarkan dulu dan kemudian dia tancapkan lagi. Tampaknya ia sengaja. Karena setiap tancapan aku mendesah karena merasakan nikmat.
Beberapa saat kemudian kurasakan banyak cairan yang menyembur dari milik Rian. Karena kubenar-benar terangsang maka kurasakan nikmat. Lalu kutelan dan entah mengapa malah membuatku tambah terangsang. Setelah habis kulepaskan hisapanku. Rian terdiam. Anto menarik pundakku. Sehingga ia dapat memelukku dari belakang. Tangannya meraba-raba dadaku.
Kurasakan ia berdiri dan aku tergantung di miliknya yang menancap. Kulihat Rian menghampiriku lagi. Kurasakan miliknya ia tancapkan ke liang vaginaku. Ah, aku diapit. Kurasakan kedua liangku mereka masuki. Dan akhirnya kami sama-sama sampai puncak dan puas.
Suasana rumah yang sepi sangat merangsang kami. Kemudian aku ajak mereka ke kamarku. Di sana tubuhku mereka nikmati lagi dan lagi. Aku pun menikmatinya juga. Karena gairah kami yang tinggi maka kami lakukan berulang-ulang. Sampai disaat kuhisap milik mereka dan tiada cairan yang mereka keluarkan di mulutku dan liangku. Kurasakan tak ada semburan.
Karena sudah malam akhirnya kami jalan keluar bertiga. Kami jalan-jalan dengan mobilku yang kaca filmnya hampir 100%. Kami main di utara Jakarta. Kemudian kami buat mobil goyang sampai jam 04:00 pagi. Tentu kami melakukan istirahat. Dan kami keluar dan balik jam 04:00 lebih. Tampaknya gairah seumur kami memang fit. Anto dan Rian bergiliran menyetir. Dan diperjalanan tiada sehelai kainpun di tubuhku. Kondisi kaca mobil yang memungkinkan sehingga selepas dari mojok aku pun masih bercinta dengan mereka. Sampai-sampai penjaga karcis pun tidak melihat tubuh polosku. Diperjalanan aku duduk di belakang dan mereka bergiliran bercinta denganku. Mungkin karena tubuhku yang lebih unggul dari cewek-cewek lain jadi mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan yang jarang ini. Dan mereka terus menikmati tubuhku.
Kamis, 20 Juni 2013
Ngentot Dengan Adik Kandung
Ini
kebiasaan teman-temanku setiap jam istirahat ketiga pada hari Kamis.
Kami, siswa-siswi SMA, pulang sekolah pukul 13.30 setiap harinya;
sementara
siswa-siswi SMP sudah mengakhiri pelajaran pada pukul 11.45, bertepatan
dengan jam istirahat ketiga kami. Setiap saat itulah, teman-temanku
berdiri bersandar di balkon dan menonton siswa-siswi SMP sekolah kami
yang sedang berjalan pulang sekolah. Seringkali mereka mengomentari
siswi-siswi mana yang imut atau cantik, dan terutama yang menurut mereka
memiliki tubuh yang seksi. Beberapa temanku bahkan sering bersiul pada
mereka, atau menggoda mereka, hanya untuk menarik perhatian salah satu
dari cewek-cewek SMP yang cantik-cantik itu. Hari ini pun begitu,
sementara aku duduk di bangku panjang sambil mendengarkan iPod ku. “Dit!
Dit! Vany tuh!” Nah, di antara semua cewek SMP yang lain, ada satu
cewek yang paling menarik perhatian hampir semua temanku (dan sepertinya
hampir semua cowok di SMA dan SMP, dan mungkin bahkan beberapa bapak
guru). Cewek itu adalah Stevany, adik perempuanku. Stevany 4 tahun lebih
muda dariku, dia duduk di kelas 2 SMP. Sebenarnya Vany sama seperti
cewek-cewek yang lain; dengan tinggi badan 153 cm dan berat 46 kg, Vany
tergolong kecil mungil, tidak tinggi semampai. Rambutnya yang hitam pun
hanya dipotong pendek sebatas leher. Memang wajahnya sangat imut dan
kulitnya pun putih mulus tanpa cacat, tapi bukan itu yang membuat
teman-temanku tergila-gila padanya. “Duh gilak tuh anak cute banget
sih!!” “Sexy banget, maksud lu..!?” Yap… Kontras dengan wajahnya yang
sangat imut seperti anak kecil, Vany bisa dibilang sangat sexy. Alasan
utamanya—dan aku yakin bagian inilah yang selalu dilihat oleh hampir
semua cowok—Vany memiliki dada berukuran 34 C, yang termasuk sangat
besar untuk anak seusianya. Bentuknya pun sangat bulat dan penuh. “Duh
gue ngaceng… Gede banget gilak…” “Hus! Ada kakaknya tuh.. Ntar lu
dibunuh… Hahaha” Tiba-tiba teman-temanku ber “Oooh…!!” seru. Aku
melongok ke arah lantai dasar, mencari tahu penyebab “Ooh..!!” tiba-tiba
itu. Pantas, pikirku. Vany sedang berlari berkejar-kejaran dengan
beberapa cewek lain. Aku tahu apa yang diperhatikan oleh teman-temanku:
dada Vany yang berguncang-guncang menggiurkan saat ia berlari. Aku
melirik ke arah teman-temanku, dan aku dapat melihat tonjolan-tonjolan
tegang di bagian tengah celana panjang mereka. “Heh! Udah! Adek gue
bukan tontonan!” ujarku. Teman-temanku menoleh. “Yee… Salahnya adek lu
punya badan kayak gitu..” kata Martin, salah satu temanku. “Toket kayak
gitu, lebih tepatnya,” kata yang lain. “Ah, udalah! Nyebelin…” kataku
gusar. Aku berdiri dan berjalan pergi, meninggalkan teman-temanku yang
menatapku gelisah. Sebenarnya hal ini sudah membuatku gelisah beberapa
waktu belakangan ini. Sejak adikku kelas 6 SD, entah kenapa seolah-olah
dadanya seperti dipompa; pertumbuhannya pesat sekali! Hampir setiap
pergantian semester, adikku ini mengeluh bra-nya sudah kesempitan, dan
ternyata ukurannya sudah bertambah besar lagi. Di saat teman-teman
seusianya masih belum mengenakan bra, Vany sudah mulai memilih bra mana
yang harus dikenakannya, dan saat teman-temannya mulai merasakan
pertumbuhan di dada mereka, milik Vany bahkan sudah jauh lebih besar
dari milik ibuku. Dan, yang paling membuatku khawatir, adalah kenyataan
bahwa bagaimana pun, aku juga seorang cowok normal, yang juga bisa
terangsang bila melihat sepasang dada yang bulat dan sangat besar
seperti miliknya. Bahkan sudah beberapa lama ini aku menahan godaan
untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan oleh
seorang kakak pada adiknya. “Yang ini aja…” “Nggak ah, Kak… Bagusan yang
ini tau…” “Hmm… Masa sih?” Sore itu aku dan Vany sedang berada di dalam
sebuah toko yang menjual berbagai kartu ucapan di sebuah mall di dekat
rumah kami. Kami sedang memilih kartu ucapan untuk salah seorang teman
Vany yang akan berulang tahun sebentar lagi. Sudah sekitar setengah jam
kami berputar-putar di antara rak-rak yang memamerkan berbagai macam
kartu ucapan yang unik dan lucu, tapi kami masih belum menemukan pilihan
yang tepat. Vany menarik sebuah kartu bergambar anjing kartun lucu yang
sedang mendengarkan iPod dari raknya. “Kalo yang ini?” tanyanya
kepadaku. “Hmm… Boleh juga, sih…” jawabku. “Bisa diputer-puter, ya?”
“Ya… Lucuu…” Aku tersenyum, menunduk, mencium ubun-ubun kepalanya. Vany
mendongak, menatapku sambil tersenyum. Ia menyenderkan kepalanya ke
pundakku. “Luv u, Kak…” “Luv u too, Van…” Sambil tetap meletakkan
kepalanya di pundakku, ia kembali melihat-lihat kartu bergambar anjing
yang ia ambil tadi. Seolah ia telah menentukan pilihannya. “Yang ini aja
ya, Kak?” “Ya… Itu bagus,” jawabku. Vany nyengir manis sekali, kemudian
menggandeng tanganku ke arah kasir. Setelah membayar, kami keluar dari
toko kartu itu, masih bergandengan tangan. Kami benar-benar menikmati
jalan-jalan kami petang hari itu; kami berjalan perlahan-lahan, sesekali
aku memainkan rambutnya yang pendek-kaku, kemudian menciumnya lembut.
Vany membalas dengan tusukan nakal jari telunjuknya di pinggangku,
bermaksud menggelitikku. Kami saling berbagi candaan dan menggoda satu
sama lain, berfoto berdua, pokoknya benar-benar menyenangkan. Yap.
Seperti itu lah aku dan Vany, adik perempuanku satu-satunya, sekarang.
Mesra sekali. Sejak kejadian malam itu (saat Belanda akhirnya melibas
pasukan tua Italia 3-0—silakan baca episode 1) kami menjadi sangat
dekat. Kami memang sudah memiliki hubungan yang baik sebelumnya—kami
hampir tidak pernah bertengkar—dan kejadian itu sungguh-sungguh
merekatkan kami, layaknya sepasang kekasih. Sejak kejadian malam itu,
kami saling berjanji untuk tidak mengulangi kegilaan seperti itu lagi…
Dan kami berhasil! Kami menonton pertandingan-pertandingan Euro
selanjutnya dengan seru, dan saling menghormati satu sama lain,
menyadari status kami sebagai kakak-adik. Tapi, aku tidak bisa
memungkiri bahwa sejak malam itu, Vany selalu ada dalam pikiranku. Dan
setiap malam, sebelum tidur, bayangannya lah yang muncul di benakku. Aku
tahu aku harus menolak pikiran-pikiran itu, tapi hasilnya malah pikiran
itu muncul semakin menggila setiap kali aku onani. Setiap kali aku
melakukannya, selalu muncul gambar-gambar kejadian malam itu; bagaimana
aku meremas dadanya yang empuk dan besar, bagaimana putingnya mengeras,
bagaimana pahanya yang mulus menjepit dan menggesek penisku, erangan dan
desahan nikmatnya, dan tubuhnya yang tergeletak lemas berlumuran
spermaku tak pernah bisa kuhapus dari pikiranku. Bayangan itu sungguh
efektif dalam merangsangku, begitu efektifnya hingga tak cukup hanya
satu kali keluar saat onani untuk memuaskan nafsuku. Aku tak tahu apa
yang Vany alami setelah malam itu; apakah dia juga mengalami apa yang
aku alami atau tidak, aku tak tahu. Yang aku tahu, ia semakin sayang
pada kakaknya, dan—jujur saja—ia terlihat semakin sexy sejak malam itu.
Seolah dadanya yang besar bertambah besar dan menonjol menggiurkan,
tetapi wajahnya yang imut bertambah imut dan polos. Ooh… Paradoks
seperti itu sungguh menggairahkan! * * * Selasa, 17 Juni 2008 – 22.10
“Kaak… Ntar bangunin aku ya kalo udah mulai…” “Kamu pasang weker juga
lah, Van…” “Udaah… Tapi takutnya ga bangun… Ya?” Vany sedang menjulurkan
badannya dari balik pintu tembusan antara kamarku dan kamarnya (kamar
kami dihubungkan dengan kamar mandi), dan memintaku membangunkannya saat
pertandingan Italia vs Prancis berlangsung nanti. Pertandingan ini
merupakan pertandingan penentuan, dengan Belanda yang telah lolos dari
grup maut C, posisi kedua diperebutkan Romania, Italia, dan Prancis.
Pemenang laga Italia melawan Prancis akan lolos apabila Belanda berhasil
mengalahkan Romania pada laga terakhir. Jika Romania menang, maka
Romania-lah yang lolos mendampingi Belanda, tak peduli hasil
pertandingan Italia melawan Prancis. “Oke…” Aku mengangguk, setuju. Aku
masih tetap menghadapi komputerku. Vany berjalan ke arahku, memelukku
dari belakang, mengecup pipiku. “Thanks, Kak…” bisiknya lembut. Aku
tersenyum, menoleh menatapnya, dan mencium hidungnya yang mungil. Vany
mengernyit, tapi nyengir setelahnya. Ia mencium pipiku lagi kemudian
berbalik ke arah kamarnya. Aku mendengar debam pintu ditutup di
belakangku. Cepat-cepat aku mengganti screen komputerku. Aku sedang
mengetik cerita tentang kejadian beberapa malam yang lalu itu. Aku sudah
berjanji pada teman-temanku di Bluefame untuk membagikan cerita ini
pada mereka. Setengah jam berlalu, aku masuk bagian ketiga, bagian yang
paling seru. Sambil mengetik, aku membayangkan apa yang kulakukan malam
itu dengannya. Kupejamkan mataku… Sama seperti sebelumnya,
bayangan-bayangan itu muncul dalam benakku. Jelas sekali… Aku
membayangkan tanganku sedang meremas dadanya yang empuk dan sangat
besar, memainkan putingnya yang semakin lama semakin mengeras dan
menegang menggiurkan. Aku menyenderkan badanku ke kursi, merogohkan
tangan ke dalam celanaku. Penisku sudah mengeras. Pelan-pelan, aku
mengocoknya. Oohh Vany toket kamu gede bangeeet siih… Penisku semakin
tegang dan membesar, kocokanku semakin keras. Empuuk… Putingnya keras
bangett… Hornya,ya Van? Tanganku bergerak semakin cepat.
Bayangan-bayangan semakin jelas. Oh my God paha kamu ngegesek penis
kakak… Nafasku semakin cepat. “Aah…” Astaga, aku bahkan dapat mendengar
suara desahannya dalam benakku. “Mmmh… Mmm…” Oh suaranya jelas sekali…
“Mmhh… Ssshhh… Aah…” Astagaa… Aku akan segera keluaar!!! Tapi saat itu
aku sadar… Bayangan tidak bersuara! Aku membuka mataku, diam terpaku,
mendengarkan… “Mmmhh…” Samar-samar, dari kamar sebelah, aku bisa
mendengar suara desahan tertahan. Vany kah? Apa yang sedang
dilakukannya? Mengendap-endap, aku berjingkat ke arah pintu kamar
mandiku, yang menghubungkan kamarku dengan kamarnya. Perlahan, sangat
perlahan, aku membuka pintu kamar mandiku, berusaha tidak mengeluarkan
suara sedikit pun. “Aahh… Mmmhhh…” Desahannya semakin terdengar. Aku
menjulurkan kepalaku ke dalam… benar saja; pintu kamar mandi yang menuju
ke kamarnya terbuka sedikit. Mungkin Vany lupa menguncinya malam ini.
Aku berjingkat perlahan ke arah pintu yang terbuka sedikit itu, dan dari
celah pintu itu aku mengintip ke dalam kamar adikku. Lampu kamarnya
telah dimatikan, hanya tersisa lampu meja yang menyala oranye redup.
Vany meringkuk di atas ranjangnya, tubuhnya yang mungil miring ke kanan,
menggeliat-geliat pelan. Tangan kanannya merogoh bagian depan celana
pendeknya, menjangkau vagina dengan tangannya, sementara tangan kirinya
meremas salah satu dadanya yang besar menggiurkan itu. Vany sedang
masturbasi! “Aahhh… Aaahhh….” desahnya nikmat. Aku terpana. Tidak pernah
sebelumnya aku berpikir bahwa adikku yang polos dan imut-imut ini juga
memiliki pikiran yang erotis hingga bisa masturbasi. Terdiam sejenak,
aku sadar bahwa akulah yang memasukkan pikiran-pikiran seperti itu dalam
benaknya. Jika kejadian malam itu tak bisa hilang diingatanku—yang
telah sering ML apalagi hanya petting seperti itu—tentunya lebih tidak
bisa hilang lagi dalam pikiran Vany yang masih polos dan baru pertama
kali melakukannya. Tersenyum, aku membalikkan badanku, bermaksud
meninggalkan Vany dalam fantasinya. Tapi, baru setengah langkahku
terangkat, aku mendengar sesuatu yang membuatku tertegun. “Mmmhh… Kak…
Kaak…” Jantungku serasa berhenti. Astaga! Rupanya aku yang
dibayangkannya! Penasaran, aku berbalik, hendak mengintip ke arah
kamarnya lagi, melihat apa yang terjadi. Namun, karena gelap, aku
menyenggol tempat sampah kamar mandi yang terbuat dari besi, sehingga
jatuh berkelontangan. Tanpa melihat pun, aku tahu Vany tertegun di
ranjangnya. Hening mencekikku. Aku dilanda kebingungan, berbalik ke
kamarku sepelan mungkin, atau membereskan dulu tong sampah itu baru
berbalik. Sebelum aku mengambil keputusan, tiba-tiba pintu kamar mandi
terbuka, lampu menyala. Vany berdiri di ambang pintu. Tubuhnya
berkeringat, wajahnya yang imut diliputi kecemasan dan terkejut. “Eh…
Kak? Nga… Ngapain?” Vany bertanya gugup. “Hah? Oh? Nggak koq nggak
ngapa-ngapain… Eh… Belum tidur?” aku tak kalah gugupnya. Terdiam. Kami
membatu di tempat masing-masing, menyadari kejanggalan yang terjadi.
Vany memberanikan diri bertanya. “Kakak… Tadi liat aku?” “Ah? Ah…” Aku
gelagapan, tak tahu harus menjawab apa. “Eh, ya… Lebih ke arah denger
sih…” Terdiam lagi. “Tadi pintunya agak kebuka sedikit…” lanjutku sambil
mengangguk ke arah pintu yang menuju kamarnya. “Oh, ya…” Terdiam lagi.
Suasana ini tidak menyenangkan. Wajah Vany merah padam. “Mm… Kakak…
Denger semua?” suara Vany sangat pelan hampir berbisik. Aku terdiam, tak
mampu menjawab. “Yah… Ya… Kamu bayangin… Kakak?” tanyaku. Langsung ke
sasaran. “Hah? Eh…” wajahnya tambah merah padam. “Yah… I… Ya gitu deh…”
“Oh ya?” jawabku canggung. Tak tahu melanjutkan ke mana. “…Yang malem
itu…” bisik Vany. Aku terdiam. Sudah kuduga ia akan memikirkan apa yang
kami buat malam itu. Perasaan bersalah terasa menyakitkan menusuk
hatiku. Kami terdiam, terpaku di tempat masing-masing, bingung harus
melakukan apa selanjutnya. “Eh… Yah… Yasudah… Kakak tidur dulu?” kataku
gugup. “Hah? Oh… Ya… Oke… Nanti bangunin aku ya…” kata Vany, senyum
gugup mengembang di bibirnya yang mungil. Vany membantuku membereskan
sampah yang sedikit berserakan. Aku tersenyum, mengecup keningnya,
kemudian berbalik, hendak kembali ke kamarku, berusaha melupakan apa
yang kulihat barusan. Saat itulah Vany memelukku dari belakang. “Kak…”
bisiknya. “Ya?” jawabku, berusaha setenang mungkin. “Kakak… Juga mikirin
yang malem itu?” Vany bertanya takut-takut. Hening. “Kak?” “Ya… Iya…”
Hening lagi. “Yang pas apa yang kakak bayangin?” “Heh? Koq nanya kayak
gitu?” Aku mendengarnya tertawa kecil. Vany semakin mempererat
pelukannya. Dadanya yang empuk menekan punggungku, enak sekali… Aku
merasa celana pendekku mulai menyempit. “Kamu bener-bener kepikiran,
ya?” tanyaku. Aku merasakan anggukan kecil kepalanya. “Pengen… Lagi…”
katanya pelan. “Heh! Katanya waktu itu jangan lagi… Dosa…” jawabku. Aku
agak geli. “Iya… Tapi…” Aku tersenyum, membalikkan badanku. Vany
menunduk, terlihat lesu. “Hei…” sapaku lembut. Kuangkat dagunya
perlahan. “Ga baek tau kita gitu… Kan kakak-adek… Waktu itu udah janji
juga kan kita ga mau gitu lagi… Ya kan?” Apa yang kukatakan ini sungguh
bertentangan 180 derajat dengan apa yang kurasakan. Penisku yang
menegang serasa berdenyut-denyut di balik celana pendekku. Ingin rasanya
aku langsung melumat bibirnya yang mungil itu dan menghujamkan penisku
ke dalam tubuhnya. Tapi, bagaimana pun, aku kakaknya. Aku tahu itu tidak
boleh. “Iya… Iya sih…” jawabnya, lembut. “Sorry…” “Hm? Koq sory?”
“Abis… Kan udah janji waktu itu…” Tidak boleh, dia adikku. Aku terus
memberitahu diriku sendiri. Tapi saat itu aku mataku terantuk pada
dadanya yang besar menantang. Penisku semakin mengeras. Aku
menggelengkan kepala. “Kakak nggak pengen lagi?” tanyanya, polos. Nggak.
“Yah…” Bilang nggak pengen. “Eh…” Stop. “Ya… Yah… Jujur sih… Eh…” Dia
adik lu! “… Ya pengen sih…” Bagaimana pun aku kalah lagi. Vany
mendongak, menatapku. Saat itu wajahnya terlihat imut sekali. “Karena
toketku?” tanya Vany. “… Iya… Sory…” jawabku lemah. “Gapapa…” jawabnya.
Mukanya merah padam. “Abis… Gede banget…” “Segede itu kah?” tanyanya
perlahan, kedua tangan mungilnya memegang dadanya, meremasnya, seolah
tak percaya bahwa dadanya memang sangat besar. Aku tak tahan lagi.
Kupeluk tubuh mungil Vany. Dadanya yang besar menekan dadaku. Aku
mencium bibirnya yang mungil, lembut. Vany terkejut. Sesaat seolah ia
akan meronta melepaskan diri dari pelukanku, namun detik berikutnya ia
telah membalas ciumanku. Ciuman kami bertambah panas. Lidahku perlahan
masuk ke dalam mulutnya, memainkan lidahnya. Vany cepat belajar rupanya,
segera membelit lidahku dengan lidahnya yang mungil. Decak lidah kami
terdengar menggiurkan di dalam heningnya malam itu. Tanganku merogoh
pantatnya, meremasnya. Baru kali ini aku menyadari pantat Vany juga
montok dan tebal. Vany melepaskan ciuman, mengambil nafas. Benang ludah
tipis menghubungkan mulut kami. Sexy sekali. “Di kamar aja yuk?”
ajaknya. Aku mengangguk. Kugendong Vany kembali ke kamarnya, kurebahkan
tubuh mungilnya di atas ranjangnya. Perlahan, aku merebahkan diri di
atas tubuh Vany, kembali melumat mulutnya dengan penuh gairah. Tapi saat
itu Vany terbatuk. “Kenapa?” tanyaku. “Uhuek… Kakak berat!” katanya
terbatuk. Ia tertawa terbahak-bahak. Tawanya yang renyah justru menambah
gairahku. Kami berciuman lagi. Nafas kami semakin memburu. Aku
menurunkan ciumanku ke rahangnya, kemudian lehernya, perlahan-lahan.
Vany mencengkeram rambutku. “Mmhhh… Jilatin leherku, Kak…” Aku
menurutinya. Aku memutar-mutar lidahku di lehernya, kucium perlahan,
terus berulang-ulang. Vany mengejang. “Enak?” tanyaku. “Hmmhh… Iya… Lagi
kak…” Vany mendesah. Kali ini, sambil menjilat dan merangsang lehernya
terus-menerus, tanganku perlahan meremas dadanya yang seempuk bantal.
Rupanya malam ini Vany memakai BH, sehingga tanganku tidak langsung
menyentuh putingnya. Tapi aku merasakan puting Vany telah mengeras
seperti malam itu. “Buka aja kaosnya…” pintanya. Aku mengangguk.
Perlahan, aku mengangkat kaos piyama warna pink itu. Vany mengangkat
kedua lengannya agar bisa kubuka sepenuhnya. Aku tertegun melihat BH
warna putih berenda yang dikenakannya. Baru kali ini aku melihat tubuh
adikku seperti ini. Dadanya yang besar dan bulat terlihat sangat
kesulitan ditahan oleh BH itu. Aku mulai mencium dan menjilat dada Vany,
sementara tanganku masih tak puas merasakan empuk dan kencangnya.
“Emang bener-bener gede, Van…” bisikku. Vany hanya tersenyum, menggeliat
nikmat. Aku meremas dadanya lagi, ragu-ragu apakah sebaiknya kubuka
Bhnya atau tidak. Seolah dapat membaca pikiranku, Vany bertanya. “Mau
liat?” tanyanya, menggoda. Tak menunggu disuruh dua kali, kutarik BH itu
ke atas. Dada Vany yang besar berguncang menggiurkan saat terbebas dari
cengkeraman BHnya. Sungguh besar, bulat dan putih mulus sekali, dengan
puting yang masih belum pernah tersentuh tangan pria berwarna coklat
muda kemerahan. Benar dugaanku, putingnya telah ereksi
setegang-tegangnya. Dada Vany benar-benar sempurna. “Oh my God…” bisikku
kagum. “The best…” “Hehehe… Berisik… Ayo cepet…” katanya. Aku
membenamkan wajahku di antara kedua payudaranya. Empuk, lembut sekali.
Sensasi kenyalnya dada Vany membuatku sungguh terangsang. Dada Vany
sungguh penuh membungkus wajahku. Aku bergeser. Jemariku memainkan
putingnya yang telah tegak berdiri. “Aaahh… Kakk… MMhhh…” Vany mendesah
nikmat. Kujilat dan kusedot puting kanannya, sementara tangan kananku
meremas dada kirinya. Kemudian berganti, puting kirinya kusedot dan
kujilat perlahan, sementara puting kanannya kumainkan dengan jemariku;
kucubit dan kuputar. “Aaahh… Aaahh… Ka…K… Pelan… Pelaan… Mmmhhh!!” Aku
menyadari Vany lebih terangsang saat puting kirinya kujilat. Rupanya
Vany lebih sensitif di puting kiri. “Kamu lebih suka di sini ya?” godaku
sambil menggigit perlahan puting kirinya. “AAAHH… Aah!! IYA! Ooh…
Mmmhhh… Jangan digigiitt… Mm!!” Vany mendesah keenakan. Tubuhnya
menggeliat-geliat. Tangannya mencengkeram seprei. Sambil melepas celana
pendeknya, aku semakin liar memainkan dadanya yang besar menggiurkan.
Kuputar-putar lidahku di kedua putingnya bergantian. Vany tak tahan.
“OOH… Kaakk… Ka… Kalo gitu terus… Aku… Aaahh… Mmhh… Kk…” “Mau keluar?”
tanyaku sambil terus meremas dan menjilat dadanya. Vany mengangguk
panik. Aku nyengir nakal. Puting kirinya kujilat sangat perlahan,
sementara tangan kananku merogoh selangkangannya. Sudah basah kuyup.
“AaaahhhHH….!!! Kaaakkkk!!!” Sslllrrssshhhhhhh… Vany mengejang,
mengangkat pinggulnya, menyemprotkan cairannya banyak-banyak, membasahi
tanganku. Ia terkulai lemas. “Kenapa kamu? Belon diapa-apain udah
squirting gitu?” godaku. “Hhh… Hh… Enak aja blon diapa… apain… Hh…”
jawabnya, terengah-engah. Aku tertawa pelan. “Masih kuat?” Ia
mengangguk, tersenyum. “Kakak nakal…” bisiknya. Aku nyengir dan kembali
membenamkan kepalaku kedalam bekapan dadanya. Benar-benar enak sekali.
“Mmm… Vnn… Nnii subber bngeddd…(Mmm… Van ini super banget)” kataku dalam
bekapan dadanya. Vany tertawa geli. Kedua tangannya meremas dadanya,
menekankannya ke arah wajahku, sehingga semakin membekap wajahku. Saat
itu ide gila melintas di benakku. “Van, kamu tau titf*ck?” tanyaku. “Apa
tuh?” “Itu… Gini…” Aku berdiri, membuka celanaku. Penisku yang tegak
berdiri mengacung ke arahnya. Vany melotot memandang penisku. “Mau
diapain, Kak?” tanya Vany. “Kayak tadi…” Dengan lembut aku berlutut,
mengangkang melewati perutnya. Kuletakkan penisku di antara dadanya yang
lembut itu. Vany mengerti. “Ooohh… Iya iya!” katanya,
mengangguk-angguk. Vany memegang kedua dadanya yang besar, kemudian
menjepit penisku di antaranya. Luar biasa! “Aaahh!!! Vaan… Ini enak
banget!!” “Enak??” tanyanya. Tangan Vany meremas-remas, memijat-mijat
dadanya. Sensasi empuk dan kencang membungkus penisku. Dadanya sungguh
besar hingga yang terlihat hanya kepala penisku yang berwarna merah.
Rasanya berdenyut-denyut di antara jepitan lembut dadanya. “Van, dikocok
deh… Mmmhhh… Pelan-pelan,” pintaku. “Oke…” Vany menggerakkan dadanya
naik turun bersama-sama, perlahan. Aku tak dapat melukiskan
kenikmatannya dengan kata-kata. Kemudian ia menggerakkan dadanya
bergantian, kiri-kanan-kiri-kanan… Benar-benar luar biasa! “Ooohh…
Mmmmhhh… Vaann… Sambil dijilat… Kepalanya…” Vany menunduk, menjilat
kepala penisku. Aku rasa batasku sudah semakin dekat. Seolah mengerti
pikiranku, Vany berkata. “Keluarin aja, Kak… Semprot yang banyak!”
bisiknya. “Okee… Mmmhh… Ben… Bentar laggii… Aaahhh….” Vany semakin cepat
menggerakkan dadanya naik-turun, ia juga mengencangkan jepitannya, tapi
jilatannya tetap pelan dan lembut. Aku sudah tak tahan lagi! “VAAN…
Kakak…. MMMMmmmhHHH!!!!” Crooottt… Crroooottt… Crrroooottt…. Penisku
meledakkan sperma kuat-kuat berkali-kali ke wajah imut Vany. Vany
memejamkan mata dan menutup mulut rapat-rapat. Aku terus menyemprot
hingga hampir seluruh wajah dan dadanya yang besar berlumuran cairan
putih kental itu. Vany membuka mata, menjilat sperma sekitar mulutnya.
Cairan putih menetes dari daun telinga, juga poni rambutnya. Wajah
polosnya benar-benar belepotan sekarang. Aku mengangkat penisku dari
dadanya, masih tegang, sama seperti waktu itu. Rupanya memang tidak
cukup hanya sekali untuk memuaskan nafsuku. “Oke… Sekarang giliran kamu
lagi…” kataku. Aku menunduk ke arah selangkangannya. Kubuka tungkai Vany
hingga mengangkang sempurna. Celana dalamnya basah kuyup. Aku
menjulurkan jari telunjukku untuk menyentuh vaginanya. Perlahan,
kugerakkan naik-turun telunjukku di bibir vaginanya. “Mmm… Mmhhh… Kaak…”
desahnya pelan. Aku menusukkan telunjukku lembut lebih kedalam. Vany
menjengit. “Lagi, Kak…” “Tunggu…” Perlahan, kubuka celana dalamnya yang
berwarna putih. Vagina Vany masih belum berbulu, hanya rambut-rambut
sangat tipis yang tumbuh sedikit di sekitar bibir vaginanya. Bentuknya
pun indah, tembem. Klitoris Vany sudah menonjol keluar. Cairan bening
mengalir dari dalam vaginanya. “Wow… Kenapa badanmu sempurna gini sih?”
bisikku menggodanya. “Apaan sih kakak…” kata Vany. Tanpa berlama-lama,
aku langsung mencium vaginanya. Vany mengejang, menggeliat setiap kali
aku menyentuh klitorisnya dengan bibirku. Harum segar sekali baunya.
“Aahh… Kaakk… AaaaHH… Aa…” desah Vany. Aku menjulurkan lidah, kujilat
bibir vaginanya yang tembem. Vany menggeliat semakin kuat, mencengkeram
kepalaku. Aku meremas pantatnya perlahan-lahan sambil terus menjilati
vaginanya. “Kaakk… Kakakk… Oohh… Mmmhhh… Yess…” Vany mendesah. Nafasnya
berat, tak beraturan. Kujulurkan lidahku lebih dalam, kali ini
menjangkau bagian dalam vaginanya. Vany mendesah dan mendesis tak
karuan, pinggulnya menegang. Aku melirik ke atas, tangan kanannya sedang
meremas dadanya yang besar, memainkan puting kirinya yang sensitif.
Kugigit lembut klitoris adikku. “MMM!!! Kaaakkk!!! Keluaaarrrr!!!
Aaaahhh… AAAAHH!!!” Sebelum aku sadar, Vany telah menyemprotkan
cairannya ke wajahku. Semprotannya kencang sekali. Untung saja aku
sempat memejamkan mata dan menahan nafas. Belum sempat aku mengambil
nafas, Vany telah menyemprotkan orgasmenya yang kedua. Lebih banyak kali
ini. “Oohh… Oohh… Mmhhh… Hhh… Hhhh…” Vany terengah-engah tak karuan.
Dadanya bergerak naik-turun, mengatur nafas. Aku membenamkan wajahku di
dalam selimut, berusaha mengeringkannya. Vany tertawa geli melihat
kakaknya basah kuyup. “Apa kamu ketawa-ketawa…” ujarku. Geli juga sih…
“Hahahaha… Emang aku nyemprotnya sampe segitunya? Hahaha…” katanya geli.
“Hehe… Abis kamu tiba-tiba gitu… Dua kali, lagi…” kataku, akhirnya ikut
tertawa. “Kan aku udah bilang tadi…” jawabnya. Vany terkulai lemah di
ranjang, tapi matanya berbinar senang. “Hehehe… Nakal kamu…” bisikku.
Aku merebahkan diri di atas adikku, kemudian melumat bibirnya yang
mungil itu dengan sayang. Penisku masih tegang sekali, agak menyentuh
vaginanya. Vany berjengit, melepaskan ciuman. “Kak… Masih tegang, ya?”
tanyanya polos. Aku mengangguk. “Kamu sexy banget sih… Jadi tegang
terus…” aku berbisik menggodanya. “Mau disedot?” tawar Vany sambil
tersenyum. “Heh? Emang kamu bisa?” tanyaku, agak terkejut. “Bisa… Waktu
itu kan pernah ngintip Kakak lagi disedot Kak Grace…” jawabnya,
meyakinkanku. Grace itu pacarku. “… Eh… Apa namanya… Oral?” “Ya… Oral,”
kataku membenarkannya. “Nakal ya kamu ngintip-ngintip orang!” Vany
nyengir jahil. Ia mendorongku. Aku berguling ke sisinya, terlentang.
Vany bangkit dan membungkuk di atas kakiku, kepalanya menghadap penisku
yang tegak berdiri. “Mulai… Eh… Mulai dari sini kan ya?” tanyanya
ragu-ragu sambil menjulurkan tangannya yang mungil untuk menggenggam
penisku. Aku mengangguk. Perlahan, Vany mengocok penisku. Aku tahu ia
masih takut-takut. “Mmhh… Enak gitu Van… NnhHh.. Teruss…. Betul… Mhh…”
desahku. Lama-kelamaan Vany semakin yakin dan terbiasa dengan penisku.
Kocokkannya semakin mantap. Tak lama kemudian, ia mendekatkan bibirnya
ke kepala penisku, menjulurkan lidahnya untuk menjilat. Perlahan-lahan,
ia menjilati kepala penisku. Enak sekali. “Aahh… Ji… Jilat batangnya
juga, Sayang… Mmhh…” Vany menurut. Ia menjilati batang penisku dengan
bersemangat. Lama-kelamaan jilatannya semakin berani. Vany memutar-mutar
lidahnya di sepanjang penisku. “Slllrpp… Mmahh… Kaka… Enaa…k… Sllrpp?”
tanyanya sambil terus menjilat. Aku mengangguk, memejamkan mata,
berusaha menahan agar tidak orgasme terlalu cepat. Tiba-tiba, Vany
berhenti menjilatiku. Ia menegakkan tubuhnya, seolah bersiap-siap. “Abis
itu… Gini… Ya…?” Ia membungkuk, memasukkan penisku ke dalam mulutnya
yang mungil. Vany harus membuka mulutnya lebar-lebar agar penisku bisa
masuk semua. Rasanya luar biasa! “Mmhh… Ccpp… Bunya… Kak… Gdee… Mmm…
Cppp… B… Nget… Puah… Sampe susah nyedotnya…” katanya. Aku tertawa. Ia
kembali menyedot penisku, perlahan-lahan. Kepalanya bergerak naik-turun.
Di dalam, lidahnya memainkan bagian bawah batang penisku. Ia
melakukannya benar-benar seperti sudah profesional. “Kamu… Mmmhh…
Ngintipnya… Sampe kayak gimana… Mmmhhh… Waktu itu?” tanyaku. Tekniknya
memang mirip dengan Grace. “Dari… Mmmh… Slllrpp… Aw…al… Cppp… Mmmm…
Sppp… Samp…e… Abiss… Cpp…” jawabnya terpatah-patah. Pantas saja… Vany
semakin cepat menggerakkan kepalanya naik-turun. Rongga mulutnya yang
kecil menjepit penisku pas sekali, dan lidahnya yang menggeliat-geliat
di bagian bawah penisku sungguh membuatku tak berdaya. Aku tak yakin
apakah aku mampu bertahan lebih lama lagi. “Van… Oohh… Kaka…K… Mmhhh…
Aaahh… Mau keluar nih… Aahh.. Kayaknya…” Vany tidak memedulikanku. Ia
menggerakkan kepalanya semakin cepat, kemudian menyedot penisku
kuat-kuat sebelum melumatnya hingga ke pangkal. Aku benar-benar tak
tahan. “Vaann… Nnn… MMmhhhh… Uu… Udah… Dikasi.. Tau… Lo… OOOHHH!!!!!
AAAAHH!!” sebelum kalimatku selesai, Vany menyedot kuat sekali lagi, dan
aku meledakkan spermaku berkali-kali ke dalam mulutnya. “Aahhh… Aaa…
AAAHH!!! Mmmhh… OoooH!!!” desahku setiap kali penisku menembakkan cairan
ke dalam mulut adikku. Vany terus mempertahankan penisku di dalam
mulutnya. Cairan putih kental mengalir keluar dari balik bibirnya.
Rongga mulutnya yang mungil tak mampu menahan sperma kakaknya yang
menyemprot berkali-kali banyak-banyak. Aku menghela nafas panjang saat
akhirnya selesai. Vany merangkak, merebahkan diri di sisiku, mencium
pipiku. Aku menoleh dan melumat bibirnya yang belepotan spermaku. Kami
saling membelit lidah. Tak memikirkan betapa hubungan ini sebenarnya
terlarang. “Kak…” katanya lembut. “Ya?” “Thanks…” “Hahaha sekarang kamu
yang bilang thanks…” “Iya donk… Kakak enak banget…” “Kamu juga…” Kami
terdiam. Aku memejamkan mata. Lelah sekali rasanya. Vany memeluk
lenganku. Dadanya yang montok menekan, tapi kali ini aku sudah terlalu
lelah. “Kak…” ”Hmm?” “Enak mana… Sama Kak Grace?” tanya Vany. “Oralnya?”
“He-eh…” “Enak kamu…” “Bohoooonnnggg…!!” ujarnya. Aku tertawa.
“Hahaha.. Iya deehh… Enakan Grace…” kataku. “Jangan dibandingin donk…
Dia bibirnya sexy tebel gitu…” “Hehehe…” Vany terkekeh. Terdiam lagi.
Apa yang bakal Grace bilang kalo dia tau pacarnya punya hubungan intim
dengan adik kandung sendiri? “Kak…” “Hm?” “Lain kali…” “…Jangan lagi?”
aku memotong ucapannya. “Nggak…” katanya, tersipu. “… Lain kali lagi
yuk…” Aku tertawa. Adikku parah sekali rupanya. “Besok jalan yuk…” ajak
Vany. “Besok Kakak ada janji sama Cherry,” kataku. Cherry ini sahabatku
sejak SD. “… Mau anal ya?” bisiknya jahil. “Heehh??? Koq gituuu…??” “Kan
Kakak sering anal sama dia… Aku tau aja…” “… APAA???” “Dit! Jaga
belakang!” “DEFENSE! TAHAN ERIC!” Eric berlari ke arahku, menggiring
bola dengan lincah. Samuel mencoba menahannya, tapi ia terus berlari
dengan lincah. Sekarang tinggal satu lawan satu denganku. Semua terserah
padaku sekarang. Aku bergerak maju, membentangkan tanganku, menutup
ruang geraknya. Eric menganyunkan kakinya, menendang. Aku menerkam…
BUAK!!! Gelap… “Dit… Dit lu gapapa?” “Oi… Dit…” Perlahan, aku membuka
mataku… Wajah teman-temanku bergetar dan tampak kabur dalam pandanganku.
Aku mengerjapkan mata, saat itulah aku merasakan linu yang amat sangat
di selangkanganku. Sangat menyengat dan berdenyut-denyut rasanya. Eric
juga menunduk di atasku. Wajahnya pucat pasi. “Hei, man… Lu… Lu gapapa
kan? Gue tadi ga sengaja… Abis…” katanya tergagap. “Enak aja ga sengaja!
Kan udah jelas dia bakal loncat ngambil bola! Kenapa lu tetep hajar
sekenceng itu?!” Chris naik pitam, mendorong bahu Eric. “Tapi… Gue emang
ga sengaja!” “Alaahhh…!!” “Hei…” Semua menoleh ke arahku. “Chris,
udalah… Gue gapapa koq. Tadi lengah juga… Ric, gapapa… Gue tau lu ga
sengaja…” kataku menghibur. Mataku berair menahan sakit. Perutku mual.
Teman-teman tim futsalku berusaha menolongku berdiri. Aku berdiri dan
melangkah tertatih-tatih kea rah gawang. Sakit sekali rasanya. Eric
benar-benar mengerahkan kemampuan penuhnya tadi. Hari itu aku dan
teman-teman tim futsalku sedang bertanding melawan tim dari kompleks
lain. Lapangan futsal di dekat rumahku yang biasa kami sewa sedang
mengadakan kejuaraan futsal. Hari itu pertandingan terakhir penyisihan
grup. Sebenarnya kedua tim yang bertanding hari itu sudah pasti lolos;
kami hanya memperebutkan posisi juara grup, karena bila kami mendapat
posisi runner-up, lawannya adalah tim yang sangat jago dari grup lain.
Terus terang, kami agak ngeri melawan tim itu. Saat ini skor imbang 5-5…
Pertandingan tinggal tersisa 2 menit lagi. Jika posisi tetap seperti
ini, kamilah yang akan lolos sebagai juara grup. Tapi dalam 2 menit
terakhir ini tim Eric terus memborbardir gawang yang kukawal. “Hei… Lu
gapapa? Masih bisa maen lagi? Tinggal 2 menit koq…” Aku mengangguk,
berusaha menegakkan badanku di bawah mistar gawang. Pandanganku agak
kabur saat ini. Pertandingan dilanjutkan… * * * Aku berjalan
perlahan-lahan ke arah rumahku. Selangkanganku masih sakit rasanya. Aku
mengernyit, jengkel. Saat pertandingan tinggal tersisa 30 detik, sebuah
umpan silang dari kanan kotak penalti timku diteruskan Eric dengan
sebuah sundulan cantik. Aku benar-benar terkecoh. Akhirnya tim lawan
menang 6-5, dan mereka menjadi juara grup. Aku menggelengkan kepala.
Susah sekali berkonsentrasi hari ini, apalagi setelah terkena tendangan
bola futsal yang sangat keras tepat di penisku… Urgh! Aku menggelengkan
kepala lagi. Sebenarnya sudah sejak awal pertandingan aku sulit
berkonsentrasi. Pikiranku terpaku pada adikku Vany… Terutama apa yang
dilakukannya tadi pagi. Tadi pagi, Vany harus berangkat ke sekolah
karena ia menjadi ketua panitia MOS (Masa Orientasi Siswa) di sekolah.
Hari ini para siswa-siswi SMP baru sudah harus masuk ke sekolah untuk
menjalani masa orientasi, dan Vany harus menyiapkan segala sesuatunya
dengan baik. Sebelum pergi, pagi-pagi sekali, Vany membangunkanku dengan
ciuman nakal perlahan di leherku. Saat aku terbangun, aku melihat adik
kecilku yang imut itu tersenyum manis, dengan kancing kemeja seragam
sekolah yang tidak dikancingkan dan bra merah muda berenda yang
diangkat. Dadanya yang besar menggelayut menggiurkan di hadapanku.
Sekejap kemudian Vany sudah menjepit penisku dengan kedua dadanya yang
empuk, memijat dan meremasnya perlahan. Aku yang terkejut hanya bisa
menikmati sensasi luar biasanya. Tak butuh waktu lama bagiku untuk
meledakkan sperma kentalku berkali-kali melumuri wajahnya yang imut.
Setelah membersihkan wajahnya, Vany tersenyum puas, mengecup bibirku,
kemudian pergi ke sekolah. Bayangan akan apa yang terjadi pagi itu terus
terngiang di kepalaku, bahkan saat pertandingan futsal sedang
panas-panasnya sore itu. Mungkin itu yang membuatku dapat kebobolan
hingga tujuh gol. Gila… Lagipula… Sakit sekali… Bagaimana jika aku tidak
dapat tegang lagi untuk seterusnya? Apa kata Vany? Grace? Cherry?
Langkahku gontai melintasi halaman rumah. Aku membuka pintu depan rumah.
Sepi, kedua orang tuaku sedang menghadiri acara keluarga besarku di
Semarang selama seminggu. Aku membanting sepatu futsalku di tempat
sepatu, mendaki tangga dengan lemas menuju kamarku, membanting tas dan
sarung tangan kiperku, melepas semua pakaianku, kemudian melangkah ke
kamar mandi. Aku ingin cepat-cepat mandi air panas. Tanpa memperhatikan
apa-apa, aku membuka pintu kamar mandi. Aku tertegun. Vany sedang mandi
dengan santainya. Tampaknya ia tak sadar aku membuka pintu kamar mandi.
Vany bermain-main dengan air dari shower, menggosok lengan, leher,
pantat, dan tentu saja dadanya yang besar menggiurkan. “V… Van?” Vany
melonjak kaget. Ia berbalik, melihat kakaknya yang juga telanjang bulat
berdiri di hadapannya. “Eh… Kak? Koq ga ngetok dulu?” tanyanya gugup.
“Hah? Oh… Oh iya… Sory tadi kakak pikir ga ada orang…” “Oh… Hahaha ya
namanya kan kamar mandi bareng… Ketok dulu lah…” jawabnya santai.
“Gimana futsalnya?” “Kalah…6-5… Jadi runner up…” jawabku lemas. “Udah
gitu punya kakak ketendang bola kenceng banget lagi… Jarak dekat…”
“Hah??! Oh ya?” ujar Vany terkejut. Ia memperhatikan penisku. “Tapi…
Koq… Kayaknya gapapa ya…” lanjutnya. Aku menangkap nada geli dalam suara
manisnya. “Ya iyalah gapapa…. Dasar…” memang saat itu penisku sudah
kembali tegang setegang-tegangnya. Segala pikiran tentang apakah aku
dapat tegang lagi sirna sudah saat aku meihat tubuh Vany yang basah
kuyup sedang mandi. “Eh… Mm… Jadi…” kata Vany. “Hah? Oh…” aku tersenyum.
“Mau mandi bareng?” Vany nyengir. “Dasar nakal…” bisiknya. Tapi ia
membukakan juga pintu kaca pembatas ruang shower. Aku masuk, dan
seketika itu juga hangatnya air membasahi tubuhku. Damai dan tenang
sekali rasanya. Vany merapatkan dirinya ke arahku. Dadanya yang besar
menekan tubuhku, kenyal dan empuk sekali rasanya. Vany mengusap perlahan
punggungku. “Mau aku sabunin, Kak?” tawarnya. Aku mengangguk. Ia
mengambil botol sabun cair, menuangnya ke atas telapak tangannya,
kemudian mengusapnya perlahan di punggungku. Aku menunduk, memandang
adikku. Vany mendongak, tersenyum. Kami saling bertatapan beberapa lama.
Perlahan, Vany mendekatkan bibirnya ke arah bibirku. Aku menyambutnya
lembut. Sangat perlahan, kami berciuman. Lidah Vany menusuk ke dalam
mulutku dan membelit lidahku. Suara decak ciuman kami semakin lama
semakin nyaring. Ciuman kami semakin panas, tapi masih dalam gerakan
yang sangat perlahan. Aku menjulurkan kedua tanganku, meremas pantatnya
yang kencang dan bulat. Dalam benakku aku sungguh ingin meng-anal adikku
ini suatu hari nanti. Vany menekankan dadanya semakin kencang ke arah
tubuhku. Aku dapat merasakan putingnya yang mengeras, seksi sekali.
“Gimana MOS?” kataku saat ciuman kami terlepas. Aku bertanya sambil
meremas-remas dadanya yang besar. Empuk dan kenyal sekali. Rasanya
sungguh berbeda dengan dada cewek-cewek lain. “Seru… Tapi anaknya pada
susah diatur… Bandel-bandel…” katanya sambil memanyunkan bibir. Aku
tertawa. “Haha.. Bandel mana sama kamu? Hm?” “Aah Kakak…” bisiknya
manja. Tangan mungilnya sudah berpindah mengusap bagian depan tubuhku
sekarang. Aku memainkan putingnya yang telah sangat keras. Kujilati
putting kirinya yang sensitif, sementara tangan kiriku meremas dada
kanannya dengan nafsu. Vany memejamkan menikmati. Perlahan, tangannya
bergerak ke arah penisku yang sangat tegang. Vany jongkok, menghadapi
penisku sambil mengusapnya perlahan dengan sabun. “Aduh kacian… Kamu
tadi kena bola ya?” Vany berbicara pada penisku, seolah berbicara pada
anak kecil yang lucu. Ia mengusap-usapnya, mengocoknya perlahan. Enak
sekali. “Mmhh… Van… Tuh kan… Bandel kamu…” desahku. Vany nyengir. Ia
membiarkan air dari shower membilas sabun dari penisku hingga bersih. Ia
menjilat-jilat penisku dengan perlahan, dari pangkal hingga ujungnya.
“Aku sedot ya, Kak? Biar ilang sakitnya…” katanya sambil mendongak
memandangku. Aku mengangguk. Vany segera memasukkan penisku ke dalam
mulutnya. Perlahan-lahan, ia menggerakkan kepalanya maju, memasukkan
semakin banyak bagian dari penisku kedalam mulutnya. “Van.. Mmhh… Van
ati-ati keselek…” Vany terus memajukan kepalanya. Aku melihat semakin
lama ia semakin kesulitan. Saat ¾ bagian penisku sudah masuk, aku merasa
kepala penisku telah menyentuh leher dalamnya. Vany memainkan lidahnya
di bagian bawah penisku. Enak sekali. “Aaahh… Vann.. Van.. Terus gitu…
Mmmh…” Vany menyedot semakin kencang. Gerakan kepalanya pun semakin
cepat maju mundur. Lidahnya terus bergerak berputar-putar di bagian
bawah penisku, menjilat pangkalnya. Aku tak tahan lagi. “OOOHH.. VAANN…
Ka… Kak mau… Keluarrr… MmmmHH!!!” Aku meledakkan spermaku ke dalam
mulutnya. Mulutnya yang mungil tak sanggup menahan semprotan yang begitu
kencang. Vany melepaskan sedotannya, membuat semburanku beralih
melumuri wajahnya dengan cairan putih kental. “Ooh… Vaan… Van…” desahku
keenakan. Aku bersandar lemas ke tembok kamar mandi. Vany membiarkan
semburan air dari shower membersihkan mukanya. Enak sekali rasanya.
Penisku masih tegang, seperti 2 kali sebelumnya, tak cukup hanya sekali
aku merasakan kenikmatan adik kecilku ini. Vany memelukku. Dadanya yang
empuk menekan tubuhku. Gejolak antara akal sehat dan nafsu kembali
berkecambuk di benakku. Tapi memang nafsu selalu menang. Aku sudah
melangkah sejauh ini… Aku rasa sudah terlambat untuk berputar kembali.
Aku menunduk, menatap Vany yang balas menatapku. Dari sorot matanya, aku
tahu bahwa nafsu juga telah menguasainya. Tanpa sepatah kata pun, aku
membalikkan badannya ke arah dinding kamar mandi. Seolah tahu apa yang
hendak kulakukan, Vany meletakkan kedua tangannya pada tembok untuk
bertumpu, berjinjit, mengangkat pinggulnya, menyerahkan sepenuhnya
vaginyanya untukku. Aku mengarahkan penisku, meletakkannya di belahan
pantatnya yang montok. Sesaat, aku ingin mengawali semuanya dengan
meng-anal Vany, tapi sesaat kemudian aku telah menggeser perlahan kepala
penisku ke arah bibir vaginanya yang bersih tak berambut.
Kumain-mainkan bibir vaginanya dengan kepala penisku; kuusap perlahan,
lembut. “Mmh… Kak… Masukin aja langsung…” pintanya. Aku setuju.
Kumasukkan perlahan kepala penisku. Vany berjengit pelan. Aku merasakan
ketegangan mengaliri tubuh adikku. “Kamu yakin, Van?” tanyaku. Sekali
lagi, logika berteriak-teriak di pikiranku. DIA INI ADIKMU! SADAR! Aku
yakin suara yang sama juga berteriak, menggedor-gedor akal sehat Vany.
Tapi saat itu kulihat anggukan perlahan tapi mantap dari adik kecilku
ini. Keraguanku sirna. Perlahan, tak ingin menyakiti, aku menusukkan
penisku ke dalam vaginanya. Vany mengejang. Aku memasukkan semakin
dalam, sudah masuk ¼ bagian sekarang. Sempit sekali… Agak sulit. “Mmmhh…
Aaahh… Aaa… Aaahhh Kak… S… ” Vany mendesah. Aku tahu pasti terasa agak
sakit untuknya. “Kalo sakit kasi tau Kakak ya…” bisikku. Vany
mengangguk. Aku memasukkan semakin dalam. Kepala penisku menyentuh
selaput tipis. Keperawanan Vany dipertaruhkan. Sekali lagi aku bertanya.
“Kamu bener-bener yakin…?” Vany tidak menjawab. Tiba-tiba ia
mendorongkan pantatnya ke arahku dengan kencang. Selaput daranya robek,
penisku benar-benar masuk ke dalam vaginanya. “AAAHHH….!!!!” Jeritnya
kencang. Vany mengakhiri masa perawannya… Di usia 14 tahun. Aku melirik
ke bawah, darah segar mengalir pelan dari arah selangkangannya, mengalir
turun melalui pahanya. “Oohh… Oohh… Masuk… Hh… Aku… Dimasukin… Ka…kak…
Aaahh… Gede banget… Hhh…” desahnya, seperti berbicara pada dirinya
sendiri. Wajah Vany merah padam. Nafasnya tersengal. Aku tahu betapa
sakitnya saat pertama. Aku membelai rambut pendeknya perlahan. “Kalo
udah ga sakit bilang ya sayang…” bisikku lembut. “…. Mmh… Terusin aja
Kak…” pintanya. “Pelan-pelan…” Aku memasukkan penisku semakin dalam
perlahan-lahan. Luar biasa sempit dan hangat di dalam. Vagina Vany
seolah menjepit penisku. Aku terus memasukkan penisku hingga kepalanya
menyentuh ujung vagina Vany. Vany memiliki vagina yang sangat dalam
untuk cewek semungil dia. “Siap?” tanyaku. Vany tersenyum, mengangguk.
Kutarik penisku hingga setengah jalan, dan dengan kekuatan penuh aku
menghujamkannya kembali ke dalam. “Aaahh!!! Aaahh… Kakk!! Pelan… Pelaa…
AANN!! Oohh… Aaahhh!!!” Vany menjerit-jerit keenakan. Aku menggerakkan
pinggulku dengan kuat. Pikiranku semakin kabur. Realitas bahwa cewek
yang sedang kusetubuhi sekaran adalah adikku sendiri sedikit demi
sedikit hilang lenyap. “Ooohh… Vaaannn… Kam…u… Sempit bangeeett… Aaah…
Mmmhh!!” desahku. Aku menjangkau, meremas-remas dadanya yang
menggelayut, berguncang-guncang seirama hantaman penisku. “Kaa… Aaahhh…
Kakak… punya… Aaahhh… Kakak punya yang… Mmmhh!! Kegede… ann… aahhh…
Mhhh!!” jawabnya tak mau kalah. Vany mengeratkan jepitan vaginanya. Enak
sekali! Penisku seperti dipijat-pijat di dalam sana. “Aaahh… Aaahhh…
Mmmmhh!!! Mmmnn… Kaak… Ohh kakk…” desahnya setiap kali penisku menghujam
ke dalam vaginanya. Pinggulku seakan bergerak otomatis, tak bisa
berhenti. Sempit dan hangatnya vaginanya, dipadu dengan sensasi empuk
pantatnya yang menghantam-hantam pinggangku sungguh tak dapat dilukiskan
dengan kata-kata. Aku menggerakkan pinggulku semakin cepat. Kepala
penisku menghantam-hantam mulut rahim Vany. “Aaahhh!!! Kaakk… Kaa…
Ooohh… Tambah… Gede… Aaahhh!!! Kakak tambah ged…eee… Lagi di… Aaahhh!!!
Aaahhh!! Di dalem…MMMHHH!!! Kaaakkk!!!” Vany menjerit-jerit. Nafasnya
sudah tak beraturan sekarang. Aku semakin kencang menggerakkan
pinggulku. Suara pantatnya yang menghantam pinganggku menggema di kamar
mandi. “KAAKK!! KAA…KKK… LEPAS! LEPAS! LEPAAsss!! Aaakkuu… Mau… Kelu…
AAARR!!!” Vany tiba-tiba berteriak. Aku terkejut, segera menarik lepas
penisku dari vaginanya yang sempit. Seketika itu juga Vany
menyembur-nyemburkan cairan vaginanya. Semprotannya kencang sekali dan
berkali-kali. Vany merosot ke lantai, badannya gemetar hebat. Orgasme
pertamanya sungguh dahsyat. Tak menunggu lama, aku berlutut di
belakangnya, kutunggingkan pantat Vany dengan kedua tanganku. Jempolku
menarik bibir vaginanya lebar, dan penisku langsung menghujam dengan
kuat untuk kedua kalinya ke dalam tubuh Vany. Lebih mudah sekarang,
apalagi setelah squirting hebat tadi, vagina Vany menjadi sangat becek
dan licin. “Aaahhh!!! Kaaakkk… Kak! Kak… Kakk… Nnnhhh!!” Vany menjerit.
Buah pelirku menyenggol-nyenggol klitorisnya, membuat Vany semakin
kegilaan menikmati seks pertamanya. Aku menggerakkan pinggulku dengan
sangat cepat, menghantam bagian dalam vaginanya dengan kuat. Vany
kembali mengencangkan vaginanya. “Aah… aahhh… Aaahhh… aa… Kaak… Oohh…
Ooohh… Enak… Bangett… Mmm… Nnnhh!!!” desahnya. Aku rasa saatku sudah
semakin dekat. “Ooohh… Vaaann… Kakak… Mau… Keluaarr… Mmmhhh… Mmmmhh…
Aaahh…” kataku, tecekat. Vaginanya terasa begitu sempit dan nikmat.
“Aaahhh… Aaahhh… Kuarin… Di luar… Kaakk… Diluar kakk!!! Aaahh!!”
pintanya. “OOOHH!! VV… VVAANNN!!!!” Aku mencabut penisku, menjepitkannya
di antara kedua pantatnya yang kencang. Ccrroooottt!!! Crrooouuuttt!!!
Crruuoottt!!!! Aku meledakkan spermaku berkali-kali dengan kencang,
melumuri punggung dan pinggulnya, bahkan ada beberapa semprotan yang
mengenai belakang kepalanya. Vany terkulai, bernafas tersengal-sengal.
Aku berlutut, melirik ke bawah dan terkejut. Penisku masih sangat
tegang. Tubuhku seakan terus meminta tubuh Vany lagi dan lagi. Sebelum
ini belum pernah aku masih tegang setelah dua kali keluar. “Van… Lanjut
di kamar aja yuk…” ajakku. “Kakak… Hhh… Mas…Ih.. Bisa lagi?” tanyanya,
tersengal. Aku mengangguk, dengan keheranan yang sama dengannya. “Kamu
masih kuat?” Vany mengangguk lemas, masih terengah-engah dan gemetar.
Kumatikan shower. Aku mengambil handuk untuk mengeringkan badanku,
kemudian kuselubungkan handuk itu ke tubuh mungil Vany yang gemetaran.
Kubantu mengeringkan badannya. Kuangkat, kugendong adikku ke kamarku.
Kubaringkan ia dengan lembut di ranjangku. Aku naik ke ranjang, menunduk
di atas tubuhnya. Nafas Vany sudah lebih teratur sekarang, ia menatap
mataku. Dadanya yang besar bergerak naik-turun seiring tarikan nafasnya.
“Lanjutin Kak…” katanya sambil tersenyum. Tanpa kusuruh, ia mengangkat
pahanya, mengangkang sangat lebar di hadapanku. Aku mengarahkan penisku
ke bibir vaginanya. Untuk ketiga kalinya, kumasukkan penisku ke dalam
vaginanya yang sempit. Vaginanya yang semit seperti menyedot penisku ke
dalam. Vany menggeliat, menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya
mencengkeram seprei dengan erat. Perlahan, kuhujam-hujamkan penisku ke
dalam vaginanya. Tarik, masukkan, tarik, masukkan. Semakin lama semakin
kuat, semakin lama semakin cepat. “Aaahhh… AAHH!!! Teruss… Teruss…!!
Terus kakk… Aaahhh!!! Ooohh Kaakk!!!” Vany mendesah liar. Matanya
terpejam, menikmati. Sambil terus menghujamkan penisku, aku meremas
dadanya. Tak cukup, aku membenamkan wajahku di antara dua bantalan besar
yang empuk itu. Jemariku memainkan puting-putingnya yang tegang. “Kamu…
Makan apa sih… Mmhh… Vann… Koq bisa… Mmmmhh… Gede gini?” tanyaku.
“Aaahh… Aaahhh… Gata…Uu… Mmm… Tau… Tau tau… Gede… Aaahhh…” jawabnya
asal-asalan. Kujilati puting kirinya. Kusedot kuat-kuat, setengah
berharap akan merasakan susu yang manis menyemprot dari dalam dadanya
yang luar biasa itu. Vany meringis, cengkraman tangannya di seprei
semakin erat. “Aaahhhh!!! KaaKkk….!!! Maauu… Keluar… Lagggiiii!!!
AAAHHH!!!” Vany berteriak. Squirting untuk kedua kalinya, penisku
seperti disemprot cairan dingin. Aku tak peduli, kugerakkan pinggulku
semakin cepat. Vany mengangkat pahanya, membantuku. Aku mencengkeram
erat pinggangnya, menggerakkan tubuhnya seirama hantaman penisku.
Vaginanya semakin mengencang. Tiba-tiba, bagian dalam vagina Vany
seperti bergerak memijat penisku kuat-kuat dengan bergelombang. Aku
belum pernah merasakan sesuatu yang seperti ini! Terkejut, aku
memperlambat genjotanku. Aku mendongak, menatap wajah Vany yang merah
padam. Dari sorot matanya aku tahu ia dengan sadar melakukan yang
terakhir itu. “Van… Va… Gimana… Yang… Ooohh yang tadi itu enak banget!!!
Aahh…” kataku. Vany nyengir lemah. Dadanya mengayun-ayun mengikuti
irama gerakan pinggulku. “Kakak… Aaaahhh… Kak… Mau… Aaahhh… Mau lagi?”
godanya. Aku mengangguk cepat-cepat. Vany nyengir semakin lebar. “Tapi..
Tapi kalo kamu gitu lagi… Kakak bisa-bisa gak keburu ngeluarin di
luar…” kataku, agak cemas. “Gapapa Kak… Yang tadi itu… Mmmhh… Aku juga
enak banget… Gapapa… Keluarin di dalem aja… Nnhh… ” katanya. “Hah? Ntar…
Ntar kamu…” “…Gapapa…” Aku tahu ini gila. Vany memintaku mengeluarkan
spermaku di dalam tubuhnya. Bagaimana kalau dia hamil? Apa kata
orangtuaku? Tapi saat logika mulai merasuki pikiranku lagi, Vany
menggerak-gerakkan pinggulnya. Aku seperti otomatis kembali menghujamkan
penisku ke dalam vaginanya, menendang jauh-jauh logika. Gerakan
pinggulku semakin cepat dan cepat. Vany semakin mengencangkan vaginanya.
Aku yakin tak lama lagi aku akan keluar jika seperti ini terus.
“Aaahhh…. AaahH!!!… Kak… Kaakk… Siaap? Aahhh… Aaa…” tanyanya. Aku
mengangguk liar, semakin mempercepat genjotanku. Vany menegang,
berkonsentrasi. Gerakanku semakin liar. Nafas kami memburu, tak
beraturan. Dan sensasi itu datang lagi! Vaginanya seakan menyedot
penisku, dan gelombang yang sangat kuat berkali-kali datang memijat
penisku. Aku tak tahan lagi, sensasi ini sungguh luar biasa! “Vann!! OOH
Vaannn!!! Kakak mau… Aaaahhh… Aaahh!!! VAANN!!! Ke…KELUAR!! Aaahh…
Aaahhh!!!” pikiranku mengabur. Mataku berair. “DI DALEM!! DI… AAHHH!!!
Di daleemm…Keluarin di daleeemm!!!” jeritnya.
“VVVVVVAANN….VVAANNYY!!!!!!” Aku meledakkan spermaku sekuat-kuatnya ke
dalam rahim Vany. Aku keluar jauh lebih banyak dari yang sudah-sudah.
Satu-dua-empat-enam… Penisku seakan tak mau berhenti meledakkan
spermanya. Enak sekali, hangat sekali. Vagina sempit Vany tak cukup
menahan muatan sperma kakaknya. Cairan putih itu mengalir keluar,
melumuri bahkan penisku sendiri, mengalir membasahi sepreiku… Aku
mencabut penisku. Sudah lemas sekarang. Rasanya agak linu, keluar tiga
kali berturut-turut. Cairan putih kental masih mengalir keluar dari
vagina adikku, terlihat seksi sekali. Vany tergeletak lemas di
ranjangku. Matanya separuh terpejam. Mulutnya menganga kecil. Keringat
membanjiri tubuh kami. Aku merebahkan diri di sebelahnya,
terengah-engah. “Van… Hhh… Thanks…” “Iya… Aku yang thanks… Hhh…”
bisiknya. “…Enak banget…” Terdiam, hanya suara tarikan nafas terengah
kami yang terdengar. Berapa lama kemudian, aku menoleh menatap adikku
yang seksi ini. “Van… Kalo kamu hamil gimana? Kakak keluar banyak banget
loh tadi di dalem kamu…” tanyaku, cemas. “Gapapa… Nanti menikah sama
kakak…” “Ngawur kamu…” Vany tertawa. Terdiam lagi. Aku memejamkan mata,
belum pernah aku merasakan seks seenak ini. “Kamu belajar dari mana yang
terakhir tadi itu?” “Gatau… Tau-tau bisa aja…” “Ohya? Itu enak banget…”
“Lebih enak dari Kak Grace?” “Jauh…” Kami terdiam. “Kak…” “Ya?” “Mulai
sekarang… Kalo kakak pas pengen ML… Kasi tau aku…” katanya. “Aku
sepenuhnya milik kakak…” Aku terdiam. Tak bisa menjawab. Dalam hati aku
tahu kami sudah melanggar semua batas dan nilai yang normal. Tapi
kenikmatan ini sungguh luar biasa. “Papa-Mama kan pergi seminggu…”
kataku. “…Banyak kesempatan…” Vany tertawa. “Ya…” katanya. “Ntar malem
lagi?” “Kalo kuat…” “Besok?” “Sepanjang hari…” Vany tertawa lagi. Tawa
yang renyah dan imut. Ia berguling, memeluk lenganku dengan sayang.
“Van…” “Hm?” “Kapan-kapan… Coba anal yuk…” Vany nyengir. “Yuk…”
Langganan:
Postingan (Atom)